Sejarah Sukapura
Agar dapat menepati permintaan mengenai Sejarah
Sukapura, kami lalu mengumpulkan semua primbon leluhur, buku sejarah tulisan
bangsa kita dan belanda. Dengan demikian menuliskan cerita-cerita jaman dahulu
yang turun-temurun kepada anak cucu leluhur yang masih ada sbb:
- Sejarah Sukapura yang dikumpulkan oleh Juragan R. Haji Achmad Sanusi (penghulu Tasikmalaya).
- Wawasan Sejarah tulisan almarhum Juragan Rd. Kertanegara alias Rd. Abdullah Soleh yang diteruskan oleh Juragan Rd. Wijayasastra Camat pensiun Ciamis dengan Rd. Rg. Danuatmaja wedana pensiun Priangan.
- Buku sejarah Priangan yang ditulis PKT. Dr. De Haan.
- Buku Pancawarna karangan Suriadiraja.
- Volksalmanak dari Commissie voor de Volkslectuur.
- Tijdschrift van het Java-Instituut “Djawa”.
- Buku cerita Kg. Pangeran Kornel karangan almarhum Juragan Rd. Memed Sastrahadiprawira dengan
- Berbagai cerita yang dikumpulkan Juragan Rd. Rg. Wirahadisurija Patih Pensiunan Sumedang.
Seluruh keterangan dari primbon dengan buku2 tsb
diatas lalu oleh komisi diserahkan Oesrajudo Sudirjo, komisi reg. Rad
Tasikmalaya agar disempurnakan.
Setelah itu kemudian diperiksa kembali oleh
komisi dan hasilnya adalah sebuah buku yang berupa buku ini.
Commissie :
Voorziller,
WIRAHADISOERIA,
Patih Pansiun Sumedang
SUKAPURA NGADAUN NGORA
Babasan karuhun patitis,
nyurug nutus teu aya kendatna,
lir mahluk nu ngandung eroh,
boga harti ngandung maksud,
karehaneun anu pandeuri,
carék paribasa Jawa, wong tua téh kudu,
cacakar gawé wiwitan,
saenggeusna, wong enom dermang lakoni,
estu teu aya méncogna.
Koe panggawé boh basa nu rumpil,
anu pinuh ku harti nu mulya,
urang mah ngan kantun bengong,
dimana enggeus kamaphum,
ngan gogodeg jeung seuri leutik,
nyeungseurikeun katunaan, teter nya panemu,
saperti ieu babasan,
Sukapura ngadaun ngora kawarti,
cobi, dina ninggangna?
Nu dimaksad ku nu mangun tulis,
madak nembrak pada aruninga,
urang Pasundan komo, seueur tuladeun nu
luhung,
larapkeuneun jaman kiwari,
ngan pédah béda petana,
tapi mungguh maksud, teu aya bentenna pisan,
nu dipalar sabilulungan ngahidji,
mulya bangsa jeung nagara.
Untuk Diingat
1632-1932
Sebelum dimulai selayaknya kita sampaikan doa
untuk leluhur serta seluruh keturunan Sukapura yang telah bersama berjuang
untuk kesejahteraan sesama yang hingga kini masih menetap di tanah Sukapura.
BISMILLAHHIRROHMANIRROHIM
Allohumma innii asaluka bismikal a domil
manuunil mubaarokil hajjil qojjum, Wabi’asmaikal latii daaaka bihaa
jamiiurrusuli wal anbijaa wassoolihiinn, wal ulamaail aamiliinn, wal alui
too’atika adimaiinn.
As’aluka antaj ala Kanjeng Dalem Wirawangsa
wa abaahu, waummahu, wausuulahu, wahawaasijahu, wa aolaadahu, wa aolada,
aolaadihii, wadhurrijatihii, waahla, baetihil, wa ashaabahuu, wa naa siriihi,
wajaesahuu, wadhurrijjaatihim, magfuuriinn wamathuqemiinn, Fii quburihim
wa’antaj ála qubuurohum, riyadhon, minriyadhil jannati, walaa tajálhaa hufaron
min’hufarin’naar, waántaj `alan nuur, wal bah jata was suruurofi qubuurihim
wanántaj ála Kanjeng Dalem Wiratanoeningrat amiiro Kabupaten Tasikmalaya, fii
haadhal waqti, wa zaodjatihii, wa aoladahuuu, wa aolada aolaahihii, wa naslahu,
wa jamiia, man tah tahu, minal umaroi, waman sakanuu, fiihi saalimiina, minal
bala jaa wal afaati, wal fitani, wal imtihaanat wa sarri tafaw-wulil fiilaann,
wa tamar rudil jiini walinsi, wasarrris sajaatinn, wal alaa tiiti, wa sarril
afroodhi, wa sarril asqoomm, wa an tajalal mulimiina wal muslimaati wal
muminiina wal muminaati goonimiina, fid du’nya wal aahirih, wa an taj ala, maa
qosada Kanjeng Dalem Adipati Wiratanoeningrat, min tah niati, hadihil bal dati
kiina, haasilatan, wa maq buulatin inda dhil `ars adhiimm, biroh matika yaa
arhamar rohimin 3x wasollal-looohu-Allaihi wasallam.
1632-1674
Bupati Ke I
Guyur salelembur, éar sajajagat, ti nangkorek
lila poék, ti nanggerang lila beurang, ti suklakna ti siklukna, awewe-lalaki, kolot-budak
ngaleut ngeungkeuy ngabandaleut, ngembat-ngembat nyatang pinang, turta nu
parantos pada karenging midang, pabaliut sareng nu naranggung dagangan,
ngabujeng paheula-heula kana pésta di dayeuh Tengah nagara Sukakerta,
dengan maksud turut berbahagia sebab yang menjadi pimpinan yaitu Umbul di
tengah kota negara Sukakerta yang bernama Rd.Wirawangsa akan menerima
kehormatan. Pemimpin dengan kesetiaan, rajin, penuh keberanian dan berilmu
tinggi. Sesudah perang Dipati Ukur tahun 1632 yang disayembarakan siapa yang
dapat menghentikan kekacauan akan diberi kehormatan oleh Kanjeng Sultan Agung
Mataram dan akan diangkat menjadi Bupati di negara Sukapura. Keberanian Rd.
Wirawangsa dalam menumpas kekacauan lain dari yang lain selalu dibarengi dengan
tekad untuk membela negara serta isinya untuk dapat menentramkan/meredakannya.
Selain itu beliau sangatlah dicintai oleh rakyatnya, terbukti dengan apa yang
diterima dari Kanjeng Sultan Agung tersebut. Selain Rd. Wirawangsa dijadikan
Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan. Pada saat pelantikan, namanya
diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I, diberikan Kanjeng Sultan hal
tersebut tidak sembarangan diberikan tetapi berdasarkan sifat serta kepribadian
Kanjeng Bupati, Wira artinya satria, dadaha
artinya keberanian. Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya
dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama
Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang
artinya Tiang, Pura adalah Keraton. Dari sinilah mulai berdirinya Bupati
Sukapura yang pertama. Yang dapat menggembirakan hati Kanjeng Bupati bukan
sekedar kabupaten saja namun terlebih lagi adalah negara (Sukapura) dengan
isinya dimerdekakan oleh Kanjeng Sultan Agung hingga tujuh turunan. Dengan
kemerdekaan ini, rakyat tidak perlu membayar upeti setiap tahun kepada Mataram,
sehingga tidak memberatkan rakyat. Wilayah yang dimerdekakan berjumlah 12 yaitu
:
- Sukakerta, Pagerbumi serta Cijulang
- Mandala dan Kelapa Genep
- Cipinaha dan Lingga Sari
- Cigugur, Parakan Tiga (Pamengpeuk) dan Maroko
- Parung
- Karang
- Bojongeureun
- Suci
- Panembong (Garut)
- Cisalak
- Nagara
- Cidamar
Sepertinya Kanjeng Sultan Agung belumlah merasa
cukup membalas budi kesetiaan Kanjeng Bupati, maka oleh beliau selain ke 12
wilayah diatas, diberikan tambahan 3 wilayah lagi dari 9 wilayah yang disita
dari Dipati Ukur, wilayah tersebut adalah :
1. Saunggantang
2. Taraju
3. Malangbong
Jumlah 15 wilayah tersebut terdiri dari 300 desa
dengan 890 kepala keluarga yang diperkirakan masing-masing mempunyai 5 anggota
keluarga. Selain dari itu Kanjeng Bupati tidak habis-habisnya dihormati
meskipun oleh masyarakat yang tidak termasuk dalam wilayahnya. Bila ada
seseorang yang mempunyai keunggulan, akan ditanyakan anak siapakah itu dan dari
mana asalnya. Agar tidak penasaran hatinya dan agar menjadi bahagia,
untuk menjawab pertanyaan itu maka, inilah sejarah Kanjeng Bupati
Wiradadaha I. Kanjeng Sunan Seda Krapyak atau Sultan Jolang (Sultan Mataram II)
mempunyai putera bernama Pangeran Kusuma Diningrat, pada masa itu karena belum
ada sekolah seperti sekarang maka orang yang ingin mendapat pengetahuan pada
umumnya melakukan pengembaraan dengan tujuan untuk menjadi pimpinan yang
bijaksana, pada akhirnya Pangeran Kusuma Diningrat sampai di tanah Sunda
(Priangan) di kampung Cibadak Kecamatan Singaparna sekarang. Setelah menetap beberapa
lama mempunyai istri yang bernama RA Sudarsah puteri Pangeran Rangga Gempol
cucu Pangeran Geusan Ulun Sumedang dan kemudian mempunyai 5 putera dimana
putera yang terakhir bernama Sareupeun Cibuniagung. Sareupeun Cibuniagung
mempunyai putera bernama Dalem Wiraha yang menjadi Umbul di Sukakerta dan
beristri Nyai Ageung puteri dari Sareupeun Sukakerta yang ibunya adalah
keturunan Galuh (Imbanegara). Kemudian berputera Rd. Wirawangsa alias Rd.
Tumenggung Wiradadaha Ke I, Bupati Sukapura pertama. Selama tanah Sukapura
menjadi wilayahnya, Kanjeng Bupati Wiradadaha Ke I dengan ponggawa-ponggawanya
tidak henti-hentinya berjuang untuk kesejahteraan dan kemakmuran negara.
Begitupun dengan rakyatnya memandang kepada Beliau sebagai Bapak Pelindung .
Maka, Rakyat dan Pimpinannya selalu sejalan dan saling mengerti kemauan masing2
sehingga negara Sukapura pada saat itu peribahasa Negara Loh Jinawi rea ketan
rea keton sugih dunia teu aya kakarungan, tur aman tina banca pakewuh dapat
dicapai. Allah yang maha penguasa, pengasih dan penyayang, hanya dari Allah lah
tidak ada barang atau kekayaan yang langgeng/kekal, serta masing-masing sudah
ditentukan kodrat. Kabupaten Sukapura yang sedang menikmati kebahagiaan,
mendadak suram citranya. Yang menjadi penyebab adalah meninggalnya Kg. Dalem
Wiradadaha I, pengayom negara Sukapura, Bupati yang telah mengorbankan dirinya
dalam peperangan demi negara serta isinya, telah berpulang ke alam baka.
Jenazah Kg. Bupati dimakamkan di Pasir Baganjing, oleh sebab itu setelah wafat
beliau sering disebut “Dalem Baganjing”. Lamanya memegang tampuk ke-bupatian
adalah 42 tahun dan pada saat wafat meninggalkan 28 putra/putri. Penggantinya
adalah putra nomer 3 bernama Rd. Jayamanggala.
Tahun 1674
BUPATI Ke – II
Sewaktu Rd. Jayamanggala menjadi Bupati pada
tahun 1674, namanya menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha II, namun amat
disayangkan sifat beliau serta budi dan kegagahannya tidak sempat disumbangkan
kepada tanah air, karena sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas
mendadak sakit dan kemudian wafat. Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun
langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda dan dimakamkan di Pasir Huni
kecamatan Sukaraja. Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”.
Kanjeng Bupati meninggalkan 8 putra/putri, namun karna belum ada yang pantas
untuk menggantikannya, kekuasaannya diteruskan oleh adiknya bernama R.
Anggadipa, putra ke 4 dari Kg. Dalem Wiradadaha I.
1674-1723
BUPATI Ke – III
Sukapura ceria, jalan-jalan dihias, disetiap
perempatan dibangun gapura dan dihiasi, setiap gapura dihiasi oleh daun
beringin, mangle serta bubuai. Apalagi disekitar bangunan kaprabon yang megah
sudah penuh hiasan yang membuat keceriaan itu ialah tiada lain, yaitu pelipur
hati Sukapura beserta isinya karna pengganti Bupati II adalah Putra ke IV dari
Kg. Bupati Wiradadaha I, bernama R. Anggadipa. Pada saat dilantik R. Anggadipa
diganti namanya R. Tumenggung Wiradadaha III. Cara memimpin negara serta
perhatian pada rakyatnya mengikuti Kg. Dalem Wiradadaha I, namun sesuai dengan
tabiat beliau yang kuat ke-Islamannya karena sedari kecil beliau menuntut ilmu
ke Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji, dari Pamijahan yang
dikeramatkan dan terkenal sampai kini. Dengan begitu keadaan seisi Sukapura
pada zaman itu selain Kg. Bupati mensiarkan agama Islam, beliau juga mengikuti
syariat Nabi Muhamad S.A.W., buah pemikiran serta apa yang dimiliki Kg. Bupati,
negara bertambah tenteram raharja, dengan dibantu 4 putra yang setia kepada Kg.
Wiradadaha III. Ke 4 putra masing-masing diberi kepangkatan patih dengan
kewajiban yang berbeda :
- Dalem. Joedanagara, tugasnya menjaga keamanan negara.
- R. Anggadipa II yang bernama Dalem Abdoel, tugasnya memajukan pertanian dan irigasi yang manfaatnya dapat dirasakan sampai sekarang, sawah-sawah yang berhasil dibuka yang terkenal sampai kini, yaitu Leuwi Budah dan Koleberes dikecamatan Sukaraja sekarang, irigasi yaitu di Pamengpeuk, Sukapura yaitu Irigasi Cibaganjing dan Ciramajaya di Mangunreja.
- R. Somanagara, tugasnya adalah sesuai dengan namanya, yaitu mengurus dan mengatur administrasi negara.
- R. Indrataroena, tugasnya adalah mengurus dan mengatur keuangan negara.
Kg. Bupati Wiradadaha III, selain terkenal
kekayaannya, pengetahuan serta ilmunya juga terkenal dengan banyak putra-putri,
karena putra-putrinya saja ada 62. Itulah sebabnya beliau disebut “Dalem
Sawidak”. Sewafatnya Kg. Bupati Wiradadaha III diganti oleh putra ke II bernama
Rd. Soebamanggala.
1723-1745
BUPATI Ke – IV
Setelah R. Soebamanggala mengganti Ayahnya,
namanya diganti menjadi R. Tumenggung Wiradadaha IV. Beliau terkenal sebagai
Bupati penghulu atau pemimpin agama, karna sedari kecil beliau berguru kepada
Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji di Pamijahan, kecamatan
Karangnunggal. Berkuasanya beliau tidak lama karena keburu wafat, jenazahnya
dimakamkan tidak jauh dari makam Syech Abdoel Mohji oleh karena itu dirinya
disebut “Dalem Pamijahan”. Selama Kg. Dalem menjabat sebagai bupati semua
berjalan lancar dan mulus, namun sayangnya tidak mempunyai keturunan sebagai
pengganti beliau. Keempat patih yang tersebut diatas masing-masing tidak
bersedia menerima jabatan bupati, pada saat bermusyawarah saudara yang paling
tua, yaitu Patih I bernama R. Joedanagara memberikan saran kepada saudara
lainnya, yaitu mengingat serta mengikuti batinnya, tidak akan ada satu
turunanpun diantara para saudara yang akan mampu menerima tampuk kebupatian
Sukapura, kecuali dari turunan R. Anggadipa II alias “Dalem Abdoel”, Patih II,
karna dirinyalah yang banyak berjasa kepada Sukapura serta isinya pada zaman
beliau. Setelah para saudara mendengarkan saran Dalem Joedanagara mereka tidak
ragu lagi, langsung mengangkat R. Demang Setjapati putra Kg. Dalem Abdoel yang
sejak kecil diasuh oleh Kg. Dalem Wiradadaha IV.
1745-1747
BUPATI Ke – V
Setelah R. Demang Setjapati memegang tampuk
ke-bupatian namanya berganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha V, namun nama
tersebut lebih termasyur dengan Kg. Dalem Tumenggung Setjapati, yang merupakan
nama yang didapat dari buyut Ibu bernama R. Demang Setjapati I, putra dari
Sunan Batuwangi yang termasyur menjadi Senopati di Mataram. Beliau menjadi
Bupati tidaklah lama karena wafat, kemudian digantikan oleh Putra ke II, yaitu
R. Djajanggadiredja.
1747-1765
BUPATI Ke – VI
Nama R. Djajanggadiredja diganti menjadi Kg.
Tumenggung Wiradadaha VI. Pada zaman beliaulah Sukapura mulai mendekatkan diri
dengan Kompeni (VOC). Alasannya karena beliau ingat pada pesan Kg. Sultan Agung
bahwa kemerdekaan Sukapura hanya sampai pada turunan ke 7, jadi beliau merasa
tidak akan lama lagi Kompeni akan menguasai seluruh tanah Priangan. Setelah
beliau berselisih pendapat dengan para patihnya beliau mengajukan pengunduran
diri, kemudian menjadi Begawan dikampung Ciwarak, Distrik Mandala zaman dulu.
Patih yang tidak sejalan dengan bupati dicopot kepangkatannya dan dibuang ke
Selong (Ceylon/Srilangka).
1765-1807
BUPATI Ke – VII
Setelah Kg. Bupati Wiradadaha VI mengundurkan
diri, oleh Sri P.K.T. Petrus Albertus van der Parra (1761-1775), kedudukannya
digantikan oleh putra sulungnya, yaitu R.Djajamanggala ke II yang diganti
namanya menjadi Kg. Dalem Wiradadaha VII, karena pada saat itu Kompeni sudah
berkuasa diseluruh tanah Priangan, pada saat itu beliau baru berusia 18 tahun,
dalam menjalankan pemerintahan dengan restu Kompeni beliau didampingi oleh Kg.
Eyang dari Ibu (R. Ayu Ganda Wiresa), yaitu Dalem Tumenggung Wiratanoebaja,
Regent Parakanmuncang ke III, sampai beliau berumur 22 tahun. Pada saat
pemerintahan Kompeni Kabupaten Sukapura berada dibawah Keresidenan Cirebon.
Sewaktu pimpinan ada dibawah Residennya, yaitu Peter de Beck, ia mengetahui
bahwa Kg. Dalem Wiradadaha VII, seorang Bupati yang ahli mengatur negara, oleh
karena itu beliau diberi gelar Adipati. Pada saat menerima gelar tersebut, Kg.
Bupati teringat pada kebaikan hati Kg. Eyang Bupati Parakanmuntjang ke III,
yang sudah membimbing dan mendampingi pada saat beliau masih kecil. Untuk itu,
pada saat beliau dilantik menjadi Adipati pada tahun 1800, namanya diganti R.
Adipati Wiratanoebaja. Pada tahun 1807, Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat
jenazahnya dimakankan di Pasir Tando, meninggalkan putra-putri sebanyak 37.
1807-1811 dan 1814-1837
BUPATI Ke – VIII
Setelah Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat pada
tahun itu juga diganti oleh putranya yang ke 5, bernama R. Demang Anggadipa atau
Kg. Dalem Wiradadaha VIII, serta pada tahun yang sama, kabupaten Sukapura
dipindahkan dari Leuwi Loa ke daerah Desa Sukapura di wilayah Kecamatan
Sukaraja sekarang. Karena prestasinya, ditahun 1815 oleh Resident Walken Berg,
Kg. Bupati dianugerahkan gelar Adipati. Tugas Kg. Bupati tiada lain adalah
memajukan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan mengolah tanah agar negara
tidak kekurangan pangan. Namun pada masa itu, sesuai dengan permintaan
pemerintah (Belanda) sawah-sawah harus ditanami tarum (pohon nila). Kemauan
beliau yang begitu keras, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Kg. Bupati,
karena khawatir rakyatnya akan kekurangan pangan. Bagai timun melawan durian,
akhirnya Kg. Bupati diturunkan dari tahta, dan tanah Sukapura sampai mulai dari
Ciwulan ke barat, digabungkan ke kabupaten Limbangan (Garut). Meskipun begitu
Kg. Bupati tidak kecewa dan penasaran, karena beliau merasa sudah puas
berkorban untuk kepentingan negara serta rakyatnya. Setelah berhentinya Kg.
Wiradadaha VIII, Kabupaten Sukapura diganti pimpinan oleh Kg. Dalem Surjadilaga
yang termasyur dengan sebutan “Dalem Taloen”, keturunan leluhur Sumedang. Latar
belakang pemerintah Belanda mengangkat Kg. Dalem Taloen, tiada lain adalah
karna jasa-jasanya terhadap pemerintah Belanda, maka tidak diragukan lagi bahwa
permintaan menanam tarum (pohon nila) di tanah Sukapura pasti akan terlaksana.
Setelah dua tahun lamanya Kg. Dalem Taloen bertahta di kabupaten Sukapura,
beliau memohon untuk dipulangkan ke Sumedang, karena tidak dapat memenuhi
permintaan pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda terus berusaha untuk
melaksanakan tujuannya, akhirnya Sukapura diserahkan ke Kg. Bupati Limbangan
(Garut), dengan permintaan agar kebun tarum tetap dilaksanakan. Inipun tidak
tercapai, karena beliau tidak sanggup memenuhi apa yang diinginkan oleh
pemerintah Belanda. Pada akhirnya terpikir oleh pemerintah Belanda, bahwa
permintaannya tidak akan terlaksana, karena tidak sesuai dengan kemauan rakyat.
Singkat cerita, pemerintah Kabupaten Sukapura dibawah Kg. Dalem Limbangan
(Garut), bermusyawarah dengan Kg. Dalem Sukapura (Wiradadaha III) yang telah
diberhentikan, memohon agar Sukapura sebelah barat ditanami tarum (pohon nila)
dan dibangun pabrik-pabriknya dengan perjanjian (persyaratan), bahwa bilamana
pekerjaan telah berhasil, tanah Sukapura akan dikembalikan lagi. Tanpa menunggu
lagi, rakyat Sukapura dengan keikhlasannya bersama memenuhi permintaan
pimpinannya (Wiradadaha VIII), dalam waktu singkat kebun tarum (pohon nila)
berikut pabrik-pabrik selesai ditanami dan dibangun tanpa kekurangan suatu
apapun. Sesuai dengan janji, pemerintahan yang pada masa itu dipegang oleh
P.K.T. Johanes Graff van den Bosch (1830-1833), Kg. Dalem Wiradadaha VIII
diangkat kembali sebagai Bupati dan tanah-tanah yang pernah diserahkan ke Limbangan
(Garut) dikembalikan lagi kecuali, Suci dan Panembong. Baru saja Kg. Bupati
mengatasi suatu masalah, timbul masih lain yang menggangu ketenangan hatinya.
Adik Kg. Bupati bernama R. Wiratanoewangsa yang menjadi Patih di kabupaten
Cipejeuh, diberhentikan dari jabatannya karena berbeda pendapat dengan Dalem
Cipejeuh. Merasa sudah pupus harapannya, R. Wiratanoewangsa secepatnya kembali
ke Sukapura, memasrahkan dirinya kepada kakaknya. Sementara pemerintah Belanda
bermaksud membangun gudang garam di Banjar, Kalipucang dan Pangandaran.
Meskipun pembangunan telah dicoba untuk dilaksanakan, namun tidak terlaksana,
karena selain terserang wabah penyakit, pada zaman itu daerah tersebut masih
angker. Yang berkuasa atas daerah tersebut yaitu Pangeran Kornel (Bupati
Sumedang), karena merasa bimbang dengan belum terlaksana permintaan pemerintah
Belanda, secepatnya memanggil putranya bernama Kg. Tumenggung Koesoemahjoeda
agar pembangunan gudang-gudang tersebut dapat terlaksana. Singkatnya Kg. Dalem
Koesoemahjoeda menerima permintaan ayahnya, lalu ingat pada R. Wiratanoewangsa
dan merasa bahwa pemberhentiannya itu oleh kakaknya, yaitu Dalem Cipejeuh
tidaklah terlalu berat kesalahannya. Dengan maksud meringankan beban dan
menebus dosa kakaknya yang telah menghukum orang yang tidak berdosa, setelah
memohon izin dan restu kepada ayahnya, yaitu Kg. Pangeran Kornel, lalu Kg.
Dalem Koesoemahjoeda mengunjungi P.K.T. Besar (Belanda), menyampaikan agar
permintaan pembangunan gudang garam di 3 tempat itu diserahkan kepada Patih Cipejeuh
yang telah diberhentikan, dengan persyaratan, bila pembangunan gudang-gudang
tersebut selesai dalam waktu 6 bulan, R. Wiratanoewangsa akan diberikan tanah
dari Galuh sampai Sumedang sebanyak 6 distrik, yaitu
- Pasir Panjang,
- Banjar,
- Kawasen,
- Kali Peucang
- Cikembulan
- Parigi
Setelah Kg. Dalem Koesoemahjoeda diizinkan oleh
Sri P.K.T. Besar, ia segera menyampaikan kepada R. Wiratanoewangsa melalui
perantaraan Kg. Pangeran Kornel, agar permintaan pemerintah Belanda tersebut
dilaksanakan oleh Kg. R. Wiratanoewangsa. Seterimanya perintah tersebut, R.
Wiratanoewangsa segera berangkat ke wilayah yang akan dibangun gudang-gudang
tersebut. Sesuai persetujuan Kg. Pangeran Kornel, dalam waktu yang telah
ditetapkan, gudang di 3 tempat itu selesai tanpa kekurangan suatu apapun. Tidak
lama kemudian, R. Wiratanoewangsa diangkat kembali menjadi Patih dan diberi
gelar Tumenggung, menguasai 6 distrik tersebut dan namanya-pun diganti menjadi
R. Tumenggung Danoeningrat. Adapun tempat tinggalnya, membangun wilayah baru
dikampung Tembong Gunung (Kali Manggis), yang telah selesai diberi nama Nagara
Harjawinangun pada tahun 1832. Pada masa itu, R. Tumenggung Danoeningrat
memohon kepada pemerintah Belanda agar mengizinkan kakaknya (Wiradadaha VIII)
untuk kembali memimpin negara, serta tanah miliknya diserahkan kepada kakaknya
dan dia dijadikan Patihnya. Dengan bertambah luasnya kekuasaan yang dipegang
Kg. Dalem Wiradadaha VIII, kabupaten Sukapura dari wilayah Desa Sukapura
Kecamatan Sukaraja dipindahkan ke wilayah Harjawinangun. Lama kelamaan Kg.
Bupati merasa bahwa wilayah Harjawinangun kurang cocok sebagai pusat
pemerintahan, maka pada tahun 1832 dipindahkan lagi ke sebelah tenggara pusat
pemerintahan, yaitu di wilayah Pasir Panjang yang diberi nama “Manonjaya”.
Sebelum pembangunan pusat kota
selesai, Kg. Adipati Wiradadaha VIII pada tahun 1837 wafat. Beliau menjadi
bupati selama 30 tahun meninggalkan putra-putri 14. Jenazahnya dimakamkan di
suatu gunung disebelah selatan kota
Manonjaya yang disebut Tanjung Malaya.
1837-1844
BUPATI Ke – IX
Sepeninggalan Kg. Adipati Wiradadaha VIII, pada
tahun itu juga R. Tumenggung Danoeningrat menjadi bupati, namun tidak sampai
mendapat gelar atas kebijaksanaannya, karena pada tanggal 4 Januari 1844, wafat.
Putra-putrinya ada 13, jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya.
1844-1855
BUPATI Ke – X
Yang menjabat bupati kemudian adalah putra
sulungnya yang bernama R. Ranggawiradimanggala, yang kemudian namanya diganti
menjadi Kg. R. Tumenggung Wiratanoebaja, yang mengikuti nama dari buyut Kg.
Dalem Parakanmuntjang ke III. Menjabat sebagai bupati selama 12 tahun kemudian
wafat tanggal 6 Juni 1855, jenazahnya di Tanjung Malaya,
dan tidak mempunyai putra-putri. Setelah wafat, Kg. Dalem sering disebut
“Dalem Soemeren”. Jabatan kemudian diserahkan ke adiknya yang bernama R.
Tanoewangsa.
1855-1875
BUPATI Ke – XI
Pada hari Selasa tanggal 11 September 1855, R.
Ranggatanoewangsa dilantik dan diganti menjadi R. Wiratanoebaja. Ditahun 1872
mendapat gelar Adipati dan diganti namanya menjadi R. Adipati Wiraadegdaha.
Pada masa beliau, pemerintah mulai memberlakukan aturan pajak tanah yang
dimusyawarahkan oleh 7 Bupati di seluruh Priangan ditahun 1869; yang dipimpin
oleh komisaris Jendral P.K.T. Otto van Rees (Gubernur Jendral Hindia Belanda;
1884-1888). Setelah hasil musyawarah dikirimkan ke 2 e Kamer, pada bulan Juli
1871, peraturan pajak tanah di Priangan diberlakukan. Jasa Kg. Bupati kepada
negara serta isinya sangatlah besar dibanding yang lainnya, bukan hanya dari segi
kesejahteraan negara tetapi juga dari segi penyempurnaan adat serta tata krama
dan juga besar jasanya dalam memajukan pembangunan. Uraian hasil-hasil yang
dicapai itu dicatat dalam isi sejarah Sukapura oleh R. Kertinagara alias R.
Abdoelah Saleh.
Sinom
Salin rupana nagara, tina rajinna Bupati
putus sagala aturan, keras marentahna abdi, tur cecet ngolah nagari, nimbulkeun
hasil jeung untung, atawa nyalin aturan, ngalengitkeun tata aki, nu katimbang
kurang pantes ku anjeunna.
Saperti tata jeung basa, réa nu leungit
diganti, basa kula jadi kaula, diganti ku jisim abdi, atawa ku simkuring, ari
jawab nu disaur, baheula mah jaman kuna kaulan mungguh lalaki, eta kitu
ngawalon ka para menak.
Sarta laguna lalambat, sorana pating
celengking, harita disalin ku “kah”, sarta teugeug henteu ngelik, panganggo nya
kitu deui, baheula mah jaman sepuh, para istri menak-menak, baju jubah ninggang
bitis, dikekemben ngalempay panjang ka tukang.
Ari istri piluaran, lamun marek ka Bupati,
makena karembong dua, dipake apok sahiji, nu hiji nyalindang nyampir, dina
taktak kagugusur, karembong Damayu modang, atawa cinde palangi, teu dibaju
awakna tembong ngaliglag.
Ari sinjangna nu lumrah, batik Tegal jeung
Ciamis, nu pangalusna Tembaya, ari ménak nu kapilih, batik sawud dasar muslim,
wedal Sukapura pencut, anu potong dalapan, ditambiran boéh mori, ari nyaba tara
tinggal kanjut kundang.
Ari mungguh pamegetna, panganggona menak
kuring, sinjang gincu sabuk Jamblang, nyoren duhung tebeh gigir, raksukan
senting purikil, poleng atawa cit salur, nu pangalusna Madras, sarta tara
nganggo lapis ari lain midang, atawa angkat mah.
Udeng wedal Sukapura, batik hideung
sawunggading, mun soga Goenawidjaja, atawa gambir saketi, modang beureun
ngatumbiri, dasar koneng hurung ngempur, carécét poleng Banggala, nganggo ambar
tinggarawing, digamparan lilingga tanduk bubutan.
Mungguhing di cacah-cacah, totopong
balangkréng sisi, sabuk sateng nyorén gobang, totopong dipasang tegil, baju
kamsol make kancing, emas hurung tinggalebur, carécét jimpo kasar, digantelan
catut beusi, ali loklak dudukuy Beulah kalapa.
Éta kabeh tata huma, ku Kanjeng dalem
disalin, ku tata cara ayeuna, malah imah ge disalin, baheula jaman aki, suhunan
panjang dijagul, wangkilas sapanjang imah, hawuna dijero bumi, sayang hayam
rimbil sakuriling imah.
Sareng sajaba ti éta, réa deui nu disalin,
tata atanapi basa, sumawonten pakem hasil, saperti untungna bumi, atawa
pertikel laku, teu kirang-kirang wehwelna, mepeling ka abdi-abdi, sumawonna
pangolahna kauntungan.
Nalika jaman harita, sagala banget diungkil,
saban tahun tambah-tambah, jakat, cuké ku kumisi, nyekapan ka para abdi, nu baku kagungan untung,
dalah para warga-warga, sepuh-anom pakir-miskin, sadayana rata sami kapasihan.
Begitulah cerita tentang beliau, namun bagi orang
yang berhasil itu banyak gangguan dan yang iri. Pada tahun 1875 beliau mendapat
musibah yang disebabkan oleh peraturan pajak tanah sampai diberhentikan dengan
hormat. Untuk beberapa tahun beliau tidak diperkenankan tinggal di tempat
kelahirannya tetapi di tempatkan di Bogor
dan diberi pensiun f. 300 setiap bulannya. Itu sebabnya Kg. Dalem sering
disebut “Dalem Bogor”. Ditahun 1908 Kg. Dalem Bogor diperkenankan kembali ke
Manonjaya, hingga beliau wafat di tahun 1912. Jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya.
1875-1901
BUPATI – XII
Setelah berhentinya Kg. Dalem Adipati
Wiraadegdaha ditahun 1875, jabatannya diganti oleh adiknya yang bernama R.
Demang Danoekoesoemah, patih Manonjaya dan setelah menjabat bupati namanya
diganti menjadi R. Tumenggung Wirahadiningrat. Beliau adalah Bupati terakhir di
kabupaten Manonjaya, beliau juga termasuk Bupati yang rajin, sabar, adil,
bijaksana, termasyur sebagai Bupati yang paling baik. Jasa beliau oleh
pemerintah ditahun 1893 diberi gelar Adipati, tahun 1898 mendapat “Bintang
Payung Kuning” dan ditahun 1900 dianugrahkan bintang “Oranje Nassau”. Itulah
sebabnya sering disebut “Dalem Bintang”. Pada tahun itu juga beliau mendapat
surat perintah resmi untuk memindahkan kabupaten ke Tasikmalaya, namun
sepertinya dari pesan leluhur ada peribahasa “Galunggung Ngadek Tumenggung”,
beliau tidak ada maksud menduduki kabupaten baru, sebab sudah melewati gelar
Tumenggung, maka secara mendadak setelah menerima surat perintah itu
beliau jatuh sakit sampai wafat.
1901-1908
BUPATI Ke – VIII
Dengan berhentinya Kg. Adipati Wirahadiningrat
pada tahun 1901, kedudukannya digantikan oleh putra saudaranya yaitu putra Kg.
Dalem Bogor yang bernama R. Rangga Wiratanoewangsa, Patih Manonjaya. Setelah
memegang jabatan Bupati namanya diganti menjadi R. Tumenggung Prawira
Adiningrat. Pada tanggal 1 oktober 1901, Kg. Dalem dipindahkan Kabupatennya ke
Tasikmalaya, namun tetap disebut Kabupaten Sukapura. Beliau menjabat bupati
hanya selama 7 tahun dan tidak lama sejak mendapat gelar “Aria”, ditahun 1908 beliau
wafat, ketika sedang berobat di Cianjur. Itu sebabnya mengapa Kg. Bupati sering
disebut “Dalem Aria”.
1908
BUPATI XI
Setelah wafatnya Kg. Aria, yang menjabat sebagai
Bupati Sukapura pada tanggal 23 Agustus 1908, adalah putra sulungnya yang
bernama R.A. Wiratanoeningrat. Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat pada saat
sebelum menjadi Bupati Sukapura, menjabat Sebagai Wedana wilayah Ciheulang.
Pada tahun 1901 kabupaten Sukapura mengalami perubahan besar, yaitu wilayah
Mangunreja serta Tasikmalaya sebagian ditiadakan. Dari wilayah Mangunreja yang
dimasukkan ke Sukapura hanya diwilayah Mangunreja, Dedetaraju, Sukaraja, Karang
dan Parung. Sisanya yaitu wilayah Cikajang, Batuwangi, Kandangwesi,
Nagara digabungkan ke kabupaten Limbangan (Garut). Dari wilayah Tasikmalaya
yang masuk ke Sukapura hanyalah wilayah Tasikmalaya, Ciawi, Indihiang dan
Singaparna. Sedangkan wilayah Malangbong dibagikan ke dua kabupaten, yaitu
sebagian ke kabupaten Limbangan (Garut) dan sebagian ke kabupaten Sumedang.
Pada tahun 1910 daerah dibawah kabupaten ini tinggal 14 distrik. Pada tahun
1913 nama Kabupaten Sukapura diganti Menjadi Tasikmalaya hingga kini. Daerah
bawahannya tinggal 10 wilayah. Atas putusan Bestuurservorming pada tahun 1925,
Tasikmalaya menjadi ibukota Keresidenan Priangan Timur, tetapi pada tahun 1931
Keresidenan itu mengalami perubahan lagi. Dengan kejadian tersebut sering
timbul pertanyaan apakah itu pertanda yang menyebabkan “Sukapura Ngadaun
Ngora”. Agak sulit untuk menjawab pertanyaan ini, namun bila mengingat kepada
cerita para sepuh dahulu yang menyebutkan; Bila Rawa Lakbok dengan hutan
belantaranya sudah menjadi sawah, negara akan pindah ke Banjar.
Yang merubah Rawa Lakbok dan hutan belantaranya
menjadi persawahan yang amat luas adalah Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat.
Atas jasa beliau rawa yang luasnya kurang lebih 30.000 ha, hutan yang begitu
lebatnya sekarang telah menjadi persawahan yang begitu suburnya. Meskipun
sekarang ditempat bekas Rawa Lakbok dan Hutan belantaranya itu belum ada batu
marmer yang ditulis dengan huruf emas, yang bertuliskan nama Kg. Dalem Adipati
Wiratanoeningrat, namun akan selalu teringat oleh rakyat yang mendapatkan
penghasilan dari sawah yang sebelumnya adalah rawa, itu tidak akan hilang untuk
selama ratusan tahun. Anak cucu rakyat yang mendapatkan kesejahteraan dari jasa
Kg. Bupati akan mengetahui dari cerita nenek dan kakeknya bahwa yang membuka
Rawa Lakbok serta hutan belantaranya bernama Kg. Dalem Adipati
Wiratanoeningrat, Bupati keturunan leluhur Sukapura, dan penuturan cerita itu
terus disampaikan secara turun-temurun. Selain karena tersohor membuka Rawa
Lakbok, sebenarnya masih banyak lagi jasa Kg. Bupati kepada rakyatnya, yaitu
membuka persawahan, perkebunan yang ada di Banjar, Kawasen, Padaherang,
Pamarican, atau ringkasnya cerita bahwa tempat-tempat yang tadinya masih rawan
serta hutan belantara sekarang atas jasa Kg. Bupati yang tidak pernah mengingat
kepada kesusah-payahannya, merubah semua itu menjadi persawahan hijau dan
perkebunan palawija yang luas dan bermanfaat pada kehidupan rakyatnya di
wilayah bawahan beliau. Tidak hanya sampai disitu perhatian beliau kepada
rakyatnya, kesemua itu juga dijaga oleh beliau dari bahaya yang akan merusak
pertanian, yaitu membasmi segala binatang perusak. Meneliti kehidupan rakyatnya
bukan hanya dengan cara pertanian, tetapi juga dengan jalan memajukan bermacam
koperasi dagang dari batik, tenun, anyaman dan peternakan. Malah dari usaha
memajukan peternakan kuda dan sapi, beliau mendirikan perkumpulan yang dinamai
“Sangiang Kalang” dan “Lembu Andini”. Untuk menolong segala keperluan yang
membutuhkan modal, beliau membentuk suatu perkumpulan yang tidak asing lagi
bagi semua orang, yaitu “Pakoempoelan Doeit Hadiah” (PDH), perkumpulan ini pada
saat buku ini ditulis telah mencapai f 70.000 lebih. Dengan pengumpulan dana
dari perkumpulan ini, bukan hanya digunakan untuk menolong orang yang
membutuhkan modal untuk berdagang dan bertani saja, namun juga digunakan untuk
menolong orang yang ingin melanjutkan sekolah di sekolah menengah dan sekolah atas.
Diantaranya ada yang telah diberikan bantuan
untuk yang sedang bersekolah di Geneescundige Hooge School di Betawi dan di
Militaire Academi di Breda. Meningkatkan pendidikan kerakyatanya itu tidak saja
kepada pendidikan duniawi, namun juga pada keagamaan. Bukan hanya puluhan,
namun ratusan madrasah yang pernah didirikan oleh kiai-kiai yang dipelopori
oleh Kg. Bupati. Untuk menyatukan para kiai agar selalu sejalan dan setujuan,
oleh beliau diikat dalam suatu perkumpulan yang diberi nama “Idharu Biatil Muluki
Wal Umaro”, yang artinya tunduk pada pimpinan, patuh pada pemerintah serta
jajarannya. Anggota dari perkumpulan tersebut ada 1.350 kiai, belum termasuk
lagi yang bukan golongan kiai. Untuk keperluan rakyat agar memudahkan dan
melancarkan hubungan mata pencahariannya, Kg. Bupati tidak berdiam diri, secara
seksama membangun beberapa jembatan-jembatan. Diantara jembatan yang termasyur
:
- Jembatan Gantung Kawat jalan ke Ciwarak
- Jembatan Gantung Kawat jalan ke Linggasari
- Jembatan Gantung Kawat jalan ke Talegong
- Jembatan Gantung Kawat jalan ke Leuwi Budah-Tanjung
- Jembatan Gantung Kawat jalan ke Cigugur
- Jembatan bambu beralas besi di Mangunjaya (sangat disayangkan jembatan ini tidak sampai selesai karena diterjang banjir kali Ciseel).
Selain itu, beliau pernah bermaksud pula untuk
membangun suatu rumah fakir miskin Islam yang dibiayai dari sebagian pendapatan
zakat fitrah untuk fakir miskin, yang biasanya dikumpulkan dari orang-orang
setahun sekali, namun karena terpikirkan oleh beliau, aturan ini tidak
bermanfaat bagi fakir miskin, sebab sumbangan dari perorangan itu tidak akan
mencukupi.Atas jasa Kg. Bupati yang begitu besarnya, pemerintah tidak ragu,
berdasarkan surat P.K.T. Goepernoer Djendral tanggal 21 Agustus 1920, No. 1,
diberi gelar “Adipati”, ditambah lagi surat P.K.T. Besar tanggal 24 Agustus
1922, No. 39, beliau menerima bintang dalam “Officer de Order van Orangje
Nassau” dan menurut surat Goepernoemen tanggal 21 Agustus 1926, No, 13,
diberikan lagi “Gele Songsong”. Kebijaksanaan Kg. Bupati didalam keunggulannya
mengolah negara, berdasarkan surat-surat seperti dibawah ini :
23 Agustus 1908-23 Agustus 1933
Pada masa inilah selama 25 tahun Kg. Dalem
Adipati Wiratanoeningrat menjabat sebagai Bupati. Melihat pada kebijaksanaan
beliau sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh berbagai kehormatan yang
tersebut diatas tadi, tepat sekali seumpama nama beliau dicatat didalam arsip
Pemerintahan Hindia Belanda, diperuntukan bagi putra-putranya yang beliau sayangi.
Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat dilahirkan pada tanggal 19 Febuari 1878, di
Nanggrang, wilayah Taraju. Ibunya bernama R. Ajoe Ratna Puri. Putri sulung dari
Kg. Dalem Tumenggung Aria Prawira Adiningrat (Dalem Aria), bupati ke XIII, cucu
Kg. Dalem Adipati Wiraadegdaha (Dalem Bogor), buyut Kg. Dalem Tumenggung
Danoeningrat bupati IX. Nama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat ialah Aom
Saleh. Sepeninggal Kg. Ibu, pada usia 8 bulan, beliau diasuh oleh eyang sepupu,
Kg. Dalem Adipati Wirahadiningrat (Dalem Bintang) bupati ke XIII, sewaktu
usianya 8 tahun pada saat ayahnya Kg. Dalem Aria menjadi wedana di Jampang
Wetan, disekolahkan disekolah Belanda di Sukabumi selama 2 tahun, kemudian
dipindahkan kesekolah Belanda di Bogor. Setelah 2 tahun lamanya belajar disekolah
itu, saat umur 12 tahun beliau lalu masuk kesekolah menak (Hoofden-School) di
Bandung sampai tahun 1896. Menurut surat residen Priangan Schappen tanggal 5
April 1897, No. 2932/8, beliau ditugaskan sebagai Joeroe Serat Controluer
Bandung Utara, dan kurang lebih 3 tahun, juga berdasarkan surat Kg. Resident
yang tersebut diatas tertanggal 5 Oktober 1901, No. 12937/8, menerima
pengangkatan menjadi asisten wedana di Andir, wilayah Ujung Berung Barat,
daerah Bandung. Setelah kurang lebih 7 tahun memegang jabatan tersebut diatas,
berdasarkan surat
Goepernemen tertanggal 12 Febuari 1908, No. 28, beliau menerima pengangkatan
menjadi wedana di wilayah Cihelang daerah Sukabumi. Hanya 7 bulan beliau
menjabat diwilayah tersebut, dengan keputusan pemerintah yang telah dijanjikan
dalam pembangunan, mengolah serta mengatur urusan pemerintahan, maka
berdasarkan surat
Goepernement tertanggal 23 Agustus 1908, No. 2, beliau diangkat menjadi Bupati
di Sukapura. Istri beliau, bernama Rd. Ayoe Radja Pamerat, dilahirkan pada
tanggal 3 Januari 1893. Ibunya bernama R. Ayoe Tedja Pamerat, putri R.
Djajadiningrat, pensiunan wedana Jampang; cucu Kg. Dalem Adipati Martanagara,
bupati Bandung; buyut Kg. Dalem Koesoemahjoeda, wilayah kabupaten Sumedang. Sapa
hingkang dasaraken becik, ora wurung benjang manggih harja sarta
saturun-turunne, yén kalakon dadi agung, begitulah nasehat dari kiai Ageng
Sela ketika memberikan nasehat kepada putra dan cucunya. Nasehat itu tidak
menyimpang sedikitpun dari ajaran keagamaan menurut Kg. Dalem Koesoemahjoeda
(buyut Kg. Dalem Istri turunan dari Ibu), yang telah memberikan kasih sayang
tanpa pamrih kepada Kg. Dalem Tumenggung Danoeningrat, buyut Adipati
Wiratanoeningrat, menurut apa yang telah tersirat dalam pesan para kanjeng
bupati ke VIII dan IX. Sampai kepada waktu penyusunan sejarah ini putra-putri
Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat ada 19, yang nama-namanya adalah sebagai
berikut :
- Nyi R. Roekiah (Juag Nana), isteri Kg. Dalem Tumenggung A. Soeria Nata Atmadja.
- Nyi R. Tarqijah (Juag Enggah), isteri R. Tjintaka.
- R. Djaelani.
- Nyi R. Soehaemi (Juag Tatan), isteri R. Hilman Djajadiningrat.
- Nyi R Siti Fatmah Koeraesin (Juag Dadan)
- R. Achmad Moh. Harmaen (Aom Herman).
- R. Moh. Ali (Aom Mali).
- R. Moh. Fatah Djoebaedi (Aom Edy).
- R. Moh. Hasan Rahmat.
- R. Moh. Husein Rahmat (Aom Tiki).
- Nyi R. Djoebaedah (Juag Djamdjam).
- Nyi R. Siti Rahmah (Juag Siti rahmah)
- Nyi R. Koerniasih (Juag Ade).
- R. Abdul Kadir (Aom Kadir).
- Nyi R. Siti Roekiah.
- R. Abdoel Moehjidin (Aom Moehji).
- R. Abdoellah (Aom Abdoellah).
- R. Sapei (Aom Sapei).
- R. Abdoellah Solichin (Aom Solichin).
Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat mempunyai 9
adik yang nama-namanya adalah sebagai berikut;
- R. Ajoe Radjamirah, isteri R.Rg. Danoeatmadja Wadana Pansiun Limbangan
- R. Rg. Prawiraadiningrat (Aom Rio), Wadana Lurahgung)
- R. Kd. Wiratanoewangsa (Aom Tjoetjoe), Wadana Cilimus
- R. Prawiraadiningrat (Aom Dikdik), Controleur Resident gentschapsbedrijven Sukabumi
- R. Ponpon Prawiraadiningrat
- R. Soele Prawiraadiningrat
- Agan Tjitjih
- R. Tjentén
- R. Daroes
1938-1944
BUPATI Ke – XV
Setelah bupati ke XIV wafat digantikan oleh R.
Tumenggung Wiradipoetra paman misan dari bapak, putra Dalem Bintang.
Pengangkatan Bupati berdasarkan surat
dari pemerintah No. 16. Diberi gelar Adipati, beristri R. Bentang Radja saudari
misan dari bapak, yaitu putra Dalem Bogor.
1944-1947
BUPATI Ke – XVI
Berdasarkan permintaan Kg. Dalem Adipati
Wiradipoetra untuk berhenti dan pensiun, kemudian digantikan oleh adiknya yang
bernama R. Tumenggung Aria Soenarya (sebelumnya Bupati Ciamis), putra dari
bupati ke XII, R. Tumenggung Wirahadiningrat.
1947-1949
BUPATI Ke – XVII
Dengan kepindahan R. Tumenggung Aria Soenarya ke Bandung, maka jabatan
bupati digantikan lagi oleh R. Tumenggung Wiradipoetra (adalah bupati Sukapura
ke XV). Pada tahun 1949 Dalem Wiradipoetra mengajukan pensiun. Sejak saat itu
hingga kini, tidak ada satupun putra Sukapura yang menjadi Bupati di
Tasikmalaya.
Dicutat tina:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar