ASAL MULA NAMA PAKUAN DAN PAJAJARAN
Hampir secara umum
penduduk Bogor
mempunyai keyakinan bahwa Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan Kota
Pakuan, ibukota Pajajaran. Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai
sumber. Di bawah ini adalah hasil penulusuran dari sumber-sumber tersebut
berdasarkan urutan waktu:
- Carita (Cerita): Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berhasa Sunda kuno ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banak terdapat pohon Pakujajar.
- K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul "De Batoe Toelis te Buitenzorg" (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku (beserta sungai yang memeiliki nama yang sama). Di sana banyak ditemukan pohon Paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan Pohon Paku.Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
- G.P. Rouffaer (1919) dalam "Encyclopedie van Niederlandsch Indie" edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian "Paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" ("spijker der wereld") yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" ("evenknie"). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
- R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan "De Batoe-Toelis bij Buitenzorg" (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istaa. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar ("aanrijen staande hoven").
- H. ten Dam (1957). Sebagai Insinyur Pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisan "Verkenningen Rondom Padjadjaran" (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam "carita Parahyangan" disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota ("hoffstad") yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara Sungai Besar dengan Sungai Tanggerang (disebut juga Ciliwung dan Cisadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Demikianlah tafsiran
nama Pakuan Pajajaran menurut lima
sumber. Nama resmi yang pernah digunakan dalam sumber sejarah ada tiga, yaitu:
1.
Pakuan Pajajaran (lengkap)
2.
Pakuan (tanpa Pajajaran)
3.
Pajajaran (tanpa Pakuan)
Ketiga sebutan itu dapat
ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2), sedangkan nomor 3 bisa
dijumpai pada Prasasti Kabantenan di Bekasi.
Lantas, apa arti kata
itu menurut orang Pajajaran sendiri?
Dalam naskah
"Carita Parahiyangan" ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal,
inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu
Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal,
dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu
Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Sanghiyang Sri Ratu
Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan"
itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dst. "Pakuan"
adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana.
Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam
"Carita Parahiyangan", yaitu "istana yang berjajar"
Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup
panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri.
Diperkirakan ada 5
bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan
Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik
"panca persada" (lima
keeraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan
dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten
dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.
Karena nama yang panjang
itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan
atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya
menjadi nama negara. Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta
Hadiningrat, contohnya meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah.
Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.
Pendapat Ten Dam (Pakuan
= ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam
laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu
bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari
perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya
dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan
Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila
bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata
"dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan"
untuk menyebut ibukota kerajaan.
LOKASI PAKUAN
1. Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama
mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC
("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur)
yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki
perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka
VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris.
Setelah mencapai
persetujuan dengan Cirebon
(1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam
persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.
Untuk mengetahui lebih
lanjut mengenai lokasi "bekas istana" Kerajaan Pajajaran, VOC
mengirimkan tiga tim ekspedisi yang masing-masing dipimpin oleh
1. Scipio (1687)
2. Adolf Winkler (1690)
3. Abraham van Riebeeck
(1703, 1704, 1709)
1.1. Laporan Scipio
Dua catatan penting dari
ekspedisi Scipio adalah
§ Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju
Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex"
sekarang. Catatannya adalah sbb.: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana
dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan,
tampaknya pernah dihuni".
§ Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat
"Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan
3 buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh
penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari perjalanannya
disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan
wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis".
Penemuan Scipio segera
dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda.
Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa
menurut kepercayaan penduduk, "dat hetselve paleijs en specialijck de
verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort" (bahwa
istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja
"Jawa" (maksudnya "Sunda") Pajajaran sekarang masih
berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). Rupanya laporan
penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang
diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687.
Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah
menumbuhkan khayalan adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan
keberadaan harimau.
1.2. Laporan Adolf Winkler (1690)
Laporan Scipio menggugah
para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team
ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang
kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur.
Perjalanan ringkas
ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut:
- Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut "twee lanen". Hal ini tidak bertentangan. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
- Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.
- Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada jaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan". Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti "tanam, tanaman atau kebun". Tajur Agung sama artinya dengan "Kebon Gede atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.
- Dari Tajur Agung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo", sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon Gintung.
- Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan ("het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben"). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan 7 batang pohon beringin.
- Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca ("Purwa Galih"), maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung). Balen Kambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh Bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali. Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jl. Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasast (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.
- Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 81/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasan tanda penutup). Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak ‘bubar/hancur’ oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri (masih tetap pada posisi semula).
- Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat 3 buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam "Babad Pajajaran" yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dala bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "Pohon Campaka Warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.
1.3. Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704,
1709)
Abraham adalah putera
Joan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di
daerah Bogor
dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali
sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke
Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.
Rute perjalanan tahun
1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondok Cina - Depok - Pondok
Pucug (Citayam) - Bojong Manggis (dekat Bojong Gede) - Kedung Halang - Parung
Angsana (Tanah Baru).
Rute perjalanan tahun
1704: Benteng - Tanah Abang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondok Cina dan
seterusnya sama dengan rute 1703.
Rute perjalanan tahun
1709: Benteng - Tanah Abang - Karet - Serengseng - Pondok Pucung - Bojong
Manggis - Pager Wesi - Kedung Badak - Panaragan.
Berbeda dengan Scipio
dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat
mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan
tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari
laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang "de toegang"
(jalan masuk) atau "de opgang" (jalan naik) ke Pakuan.
Beberapa hal yang dapat
diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:
- Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).
- Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada jaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
- Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota.
- Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.
Pada kunjungan tahun
1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa
Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan
("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian
melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.
2. Berita Dari Naskah Tua
Dalam kropak (Tulisan
pada rontal atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat
petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah
diterbitkan khusus dengan nama "Carita Parahiyangan". Dalam bagian
yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan
mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
"Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta
Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa
deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda
Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
(Di sanalah bekas
keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta
Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai (dibangun) lalu diberkati oleh
Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan.
Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan
Maharaja Tarusbawa).
Dari sumber kuno itu
dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu
Cipakancilan". Hulu Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung Lawang
Gintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari
naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah
bernam Cipakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menterjemahkannya menjadi
Cipeucang. Dalam bahasa Sunda kuno dan Jawa kuno kata "kancil" memang
berarti "peucang".
3. Hasil Penelitian
Prasasti Batutulis sudah
mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan"
untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh
Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada 4 orang ahli yang meneliti
isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan,
yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.
Hasil penelitian Pleyte
dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam
tulisan "Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg" (Angka
tahun pada Batutulis di dekat Bogor), Pleyte menjelaskan "Waar alle
legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige
dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond,
aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te
trachten"
(Dalam hal
legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih dipercayai menunjuk
kampung Batutulis yang sekarang sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran, masalah
yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat)
Sedikit kotradiksi dari
Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton,
akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah
Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura
Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran
melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan
"Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan
benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada
pertemuan Jl. Siliwangi dengan Jl. Batutulis.
Peneliti lain seperti
Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama
Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana
Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang oleh
data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan
bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu
terletak pada alur Ciliwung dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasih,
"leuwi" (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi oleh puteri-puteri
penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari
"Leuwi Sipatahunan" itu.
Pantun Bogor mengarah
pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat
perbatasan kota.
Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana".
Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu,
lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan
titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh
benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya
bagian tenggara batas kota
tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar.
Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini
"Kuta Maneuh".
Sebenarnya hampir semua
peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14
Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pad sebuah "hoff" (istana)
yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban"
dengan 7 batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil
ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan
batu-batu bekas "balay" yang lama.
Penelitian lanjutan
membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang
pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti
"porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang
dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada
bekas lokasi gerbang.
Benteng pada tempat ini
terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah
Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop
"Rangga Gading". Setelah menyilang Jl. Suryakencana, membelok ke
tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jl.
Suryakencana dengan Jl. Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, sebenarnya
didirikan pada bekas pondasi benteng. Selanjutnya benteng tersebut mengikuti
puncak lembah Ciliwung. Deretan kios dekat simpangan Jl. Siliwangi - Jl.
Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng
tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta
Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung
melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyiang Jl. Raya Pajajaran, pada
perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jl. Siliwangi (di sini
dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung. Di
Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan "benteng alam"
yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api
Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta
api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan.
Tebing Cipakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan
"benteng" pada tebing Kampung Cincaw.
PAKUAN IBUKOTA KERAJAAN
SUNDA
Tome Pires (1513)
menyebutkan bahwa dayo (dayeuh) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan
dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Ciliwung. Sunda sebagai nama
kerajaan tercata dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi.
Prasasti yang di Bogor
banyak berhubungan dengan Kerajaan Sunda pecahan Tarumanagara, sedangkan yang
di daerah Sukabumi berhubungan dengan Kerajaan Sunda sampai masa Sri
Jayabupati.
1. Kerajaan Sunda Pecahan Tarumanagara
Di Bogor, prasasti itu
ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah
peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam
prasasti itu dituliskan "ini sabdakalanda rakryan juru pangambat i
kawihaji panyca pasagi marsan desa barpulihkan haji sunda"
Terjemahannya menurut
Bosch:
"Ini tanda ucapan
Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4),
pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda".
Karna angka tahunnya
bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato
gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam
tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Beberapa ratus meter
dari tempat prasasti itu, ditemukan pula dua prasasti lainnya peninggalan
Maharaja Purnawarman yang berhuruf Palawa dan berbahasa Sangsekerta. Dalam
literatur, kedua prasasti itu disebut Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Kebon
Kopi (daerah bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig). Prasasti Ciaruteun
semula terletak pada aliran (sungai) Ciaruteun (100 meter) dari pertemuan
sungai tersebut dengan Cisadane. Tahun 1981 prasasti itu diangkat dan
diletakkan dalam cungkup. Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4
baris, berbunyi:
"vikkrantasyavanipateh
shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam"
Terjemahannya menurut
Vogel:
"Kedua (jejak)
telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang
gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara".
Prasasti Ciaruteun
bergambar sepasang "pandatala" (jejak kaki). Gambar jejak telapak
kaki menunjukkan tanda kekuasaan yang berfungsi mirip "tanda tangan"
seperti jaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu
menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut
"Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara" parwa II sarga 3, halaman 161,
diantara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman (395-434 M)
terdapat nama "Rajamandala" (Raja daerah) Pasir Muhara. Lahan tempat
prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit
tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat
itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahul termasuk bagian tanah
swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang. Prasasti
Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu
baris berbentuk puisi berbunyi:
"jayavi s halasya
tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam"
(Kedua jejak telapak
kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa
Tarumanagara yang jaya dan berkuasa)
Menurut mitologi Hindu,
Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka
Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi
nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra, bahkan diberitakan juga
bahwa bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas
kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran
sepasang lebah. Ukiran bendera dan sepasang lebah ini dengan jelas ditatahkan
pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan diantara
para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah
bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal"
yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang
ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang
labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).
Keterangan Pustaka dari Cirebon
tentang bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah)
sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya
sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat
pada prasasti Ciaruteun.
Di daerah Bogor, masih ada satu
lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang
terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang.
Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang
telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
"shriman data kertajnyo
narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara
fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham
bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam"
Terjemahannya menurut
Vogel:
"Yang termashur
serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri
Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus
oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang
selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan
kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi
musuh-musuhnya".
Kerajaan Taruma
didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman dalam tahun 358 M. Ia wafat tahun
382 dan dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi). Ia digantikan oleh puteranya,
Dharmayawarman (382 - 395 M) yang setelah wafat dipusarakan di tepi kali
Candrabaga. Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395 - 434 M). Ia
membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke
pantai dan dinamainya "Sundapura".
Kampung Muara tempat
prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah
"Kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan
Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan
untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan pleh pedagang
bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti Pasir Muara
yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu
dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara
adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa,
parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa
pemerintahan Candrawarman (515 - 535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa
daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai
hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka
Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Rakryan Juru Pengambat
yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang Pejabat Tinggi
Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan
di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai
pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? apakah daerah itu merupakan pusat
Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan
Sunda?
Nama Sunda mulai digunakan
oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M untuk menyebut ibukota kerajaan
yang didirikannya. Baik sumber-sumber prasati maupun sumber-sumber Cirebon memberikan
keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti
Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula
pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162)
menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang
membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang)
sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisinal
Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa
Barat pada masa silam.
Kehadiran Prasasti
Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M,
merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah
kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah
bergeser ke tampat lain [contoh yang sama dapat dilihat dari kedudukaan
Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak) yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota
ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari
Dewawarman I - VIII). Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke
Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah.
Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia
sendiri adalah seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara
karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan
Magada.
Suryawarman tidak hanya
melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak
kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan
perhatiannya ke daerah bagian timur. [Dalam tahun 526 M, Manikmaya (menanu
Suryawarman) telah mendirikan kerajaan baru di Kendan (daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan ).
Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di Ibukota Taruma dan
kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah
timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh
dalam tahun 612 M].
Tarumanagara hanya
mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Dalam tahun 669, Linggawarman (Raja
Tarumanagara terakhir) digantikan oleh menantunya. Linggawarman mempunyai dua
orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang
kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan
Sriwijaya. Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan
mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara
pada jamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman
Purnawarman yang berkedudukan di Purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670
M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini
dijadikan alasan oleh Wretikandayun (pendiri Kerajaan Galuh) untuk memisahkan
negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Karena Putera Mahkota
Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga Jawa
Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa
supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin
menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun
670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas. Maharaja Tarusbawa kemudian
mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat Hulu
Cipakancilan (seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya). [Dalam
cerita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan
di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bagal Raja-raja Sunda dan memerintah
sampai tahun 723 M. Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak
wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli
waris kerajaan.
Suami puteri inilah yang
dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Ia bernama
Rakeyan Jamri (Cicit Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh). Sebagai penguasa
Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah
menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya. Sebagai ahli waris Kalingga
ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam
tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari
Tejakencana yang bernama Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak
seayah Rakai Panangkaran (putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja
Kalingga Selatan atau Bumi sambara).
2. Kerajaan Sunda Sampai Masa Sri Jayabupati
Telah diungkapkan di
awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang
ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga
memerlukan 4 buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan
pada aliran Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat kampung Bantar
Muncang, sebuah ditemukan di dekat kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini
adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang
disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan
D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):
D 73 : //O// Swasti
shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa- ksa. ha. ka. ra. wara
tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma- haraja shri jayabhupati
jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka- labhuwanamandaleswaranindita
harogowardhana wikra- mottunggadewa, ma- D 96 : gaway tepek i purwa sanghyang
tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya
baryya shila.irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang
tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i
wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken prasasti pagepageh. Mangmang
sapatha. D 97 : sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
Terjemahannya
Selamat. Dalam tahun
Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad,
Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen
Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat
oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di
sungai ini jangan
(ada yang) menangkap
ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah
hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua
batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan
Sumpah. Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya demikian.
Batu prasasti keempat (D
98) berisi sumpah atau kutukan Sri Jayabupati sebanyak 20 baris yang intinya menyeru
semua kekuatan gaib di dunia dan di surga agar ikut melindungi keputusan raja.
Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada
semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup
darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup denga
kalimat seruan, "I wruhhanta kamung hyang kabeh" (Ketahuilah olehmu
para hiyang semuanya).
Kehadiran Prasasti
Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan
Sunda terletak di daerah it. Namun dugaannya tidak didukung oleh bukti-bukti
sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada
bagian sungai (Cicatih) yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama
halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir
Koleangkak yang tidak menunjukkan letak Ibukota Tarumanagara.
Tanggal pembuatan
Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka
Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 -
964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak
Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya,
melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton
Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama
Prebu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.
Telah diungkapkan
sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adala pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu
terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Cina yang menyebutkan
bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun
669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya
kepada raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9
bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka (kira-kira bertepatan dengan tanggal
18 Mei 669 M).
Tarusbawa adalah sahabat
baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M) Raja Galuh ketiga. Tokoh ini adalah
tokoh Sanna ayah Sanjaya dalam Prasasti Canggal (732 M). Persahabatan ini pula
yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa
alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbarosa dalam tahun
716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari puteranya yang sulung bernama
Batara Danghyang Guru Sempakwaja pendiri kerajaan Galunggung, sedangkan Sena
adalah cucu Wretikandayun dari puteranya yang bungsu bernama Mandiminyak raja
Galuh kedua (702 - 709 M).
Sebenarnya Purbasora dan
Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan
istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya
menjadi Raja Galuh karena 'ompong' (seorang raja tak boleh memiliki cacat
jasmani). Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari
Wretikandayun. Akan tetapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas Tahta
Galuh. Lagi pula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat
Purbasora untuk merebut Tahta Galuh dari Sena. Dengan bantuan pasukan dari
mertuanya, raja Indraprahasta (di daerah Cirebon)
Purbasora melancarkan perebutan Tahta Galuh. Sena melarikan diri ke Kalingga
(istri Sena, Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga).
Sanjaya (anak Sena)
berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta
bantuan Tarusbawa (sahabat Sena). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja
Sunda yang memerintah atas nama istrinya. Sebelum itu ia telah menyiapkan
pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal yang juga
sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan
pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan
diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil
meloloskan diri hanyalah Patih Galuh (menantu Purbasora) bersama segelintir
pasukan. Ia bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena
ia merangkap sebagai senapati kerajaan.
Balangantrang adalah
juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau
Rahiyang Kidul. Tokoh inipun tak bisa menggantikan Wretikandayun karena
menderita "Kemir" (Hernia). Balangantrang bersembunyi di kampung
Geger Sunten dan dengan diam-diam ia menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia
mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar
Indraprhasta setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai
pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sanjaya mendapat pesan
dari ayahnya (Sena), bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh
lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa
Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah
berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi Sempakwaja (uanya= kakak
ayahnya) di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan(adik Purbasora)
direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu
karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk
melenyapkan Demunawan. Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang
(putera Resi Jantaka) karena ia tak mengetahui keberadaannya.
Akhirnya Sanjaya
termpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa
kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia
sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia
menganngkat Premana Dikusuma (cucu Purbasora). Premana Dikusuma saat itu
berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia
telah dikenal sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa
sejak muda. Ia dijuluki Bagawat sajalajala. Penunjukkan Premana oleh Sanjaya
cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, istrinya Naganingrum
adalah cucu Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan
Sempakwaja dan Jantaka (putera pertama dan kedua Wretikandayun).
Pasangan Premana dan
Naganingrum memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi
ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah
dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak dikemudian
hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang (buyut dari ibu) yang akan mengurai
kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah
untuk melakukan pembalasan.
Untuk mengikat kesetiaan
Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan
Raja Galuh ini dengan Dewi Pangreyep (puteri Anggada, Patih Sunda). Selain itu
Sanjaya menunjuk puteranya (Tamperan) sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun"
Sunda di Ibukota Galuh.
Premana Dikusumah
menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak
karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja
bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap
musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh
Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya. Kedudukan
Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang
berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh Kakeknya.
Karena kemelut seperti
itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat
perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya
(Pangreyep). Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh
yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya.
Tamperan mewarisi watak
buyutnya, Mandiminyak (Senang membuat skandal). Tamperan dan Pangreyep (Istri
Premana) terlibat skandal dan hasilnya adalah kelahiran Kamarasa alias Banga
(723 M). Skandal ini terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangreyep
pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua
keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan
sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita
batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi. [untuk
menhapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus
diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua
kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.
Dalam tahun 732 M
Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia
meninggalkan kawasan Jawa Barat,
ia mengatur pembagian kekuasaan
antara puteranya (Tamperan) dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi
kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh
Resiguru Demunawan (putera bungsu Sempakwaja).
Demikianlah Tamperan
menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739
M. Sementara itu Manarah (Ciung Wanara) secara diam-diam menyiapkan rencana
perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya Ki Balangantrang di Geger
Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan
seperti anak sendiri.
Sesuai dengan rencana
Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta
sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama
anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang
memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton. Kudeta itu berhasil dalam
waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika sanjaya berhasil menguasai
Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangreyep termasuk Banga
dapat ditawan di gelanggang sabung ayam.
Bangga kemudian
dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan
Pangreyep dari tahanan. Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal
yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara
Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan
yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan
sehingga menewaskan Tamperan dan Pangreyep.
Berita kematian Tamperan
didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Medang yang kemudian dengan
pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu
sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan
Indraprahasta (ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri) dan raja-raja di
daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.
Perang besar sesama
keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Rajaresi Demunawan
(lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh
dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama
periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian
itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang
senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap
hidup atas kebaikan hati Manarah. Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan
Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh
bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi.
Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya
berjodoh dengan Kancanasari adik Kancanawangi.
Naskah tua dari
kabuyutan Ciburuy (Bayongbong, Garut) yang ditulis dalam abad ke-13 atau ke-14
memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun Parit Pakuan. Hal ini
dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang
merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang
diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan
Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 - 766). Manarah di Galuh memerintah
sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan
"Manurajasuniya" (mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk
melakukan tapa sampai akhir hayat) dan baru wafat tahun 798 dalam usia 80
tahun.
[Dalam naskah-naskah
babad, posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan, tidak saja dalam hal usia
(Banga dianggap lebih tua), tetapi juga dalam penempatan mereka sebagai raja.
Dalam naskah-naskah tua, silsilah Raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh
Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah
Carita Waruga Guru yang ditulis dalam pertengahan abad 18. Kekeliruan paling
menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan
Majapahit, padahal Majapahit baru didirikan oleh Wijaya dalam tahun 1293 (527 tahun
setelah Banga wafat). Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah pertemuan
Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad].
Keturunan Manarah putus
hanya sampai cicitnya yang bernama Prabu Linggabumi (813 - 852). Tahta Galuh
diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon
(819 - 891) cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa).
Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh
keturunan Banga sebagai akibat perkawinan diantara para kerabat keraton: Sunda;
Galuh dan Kuningan (Saunggalah).
Sri Jayabupati yang
prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra
Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih
kerabat dekat Raja Wurawuri. Permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri
Darmawangsa (adik Dewi Laksmi isteri Airlangga). Karena pernikahan tersebut
Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya (Darmawangsa). Gelar itulah
yang dicantumkannya dalam Prasasti Cibadak.
Raja Sri Jayabupati
pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota
Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Darmawangsa, ia harus menyaksikan
permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya
(Darmawangsa). Pada puncak krisis ia hanya menjadi 'penonton' dan terpaksa
tinggal diam dalam kekecewaan karena harus 'menyaksikan' Darmawangsa diserang
dan dibinasakan oleh raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan
terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya
'diancam' agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam
prasasti Calcuta (disimpan di sana)
disebut Pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Di bawah ini adalah
urutan Raja-raja Sunda sampai Sri Jaya Bupati yang berjumlah 20 orang:
1. Maharaja Tarusbawa
669 - 723 M
2. Sanjaya Harisdarma
(cucu-menantu no. 1) 723 - 732 M
3. Tamperan Barmawijaya
732 - 739 M
4. Rakeyan Banga 739 -
766 M
5. Rakeyan Medang Prabu
Hulukujang 766 - 783 M
6. Prabu Gilingwesi
(menantu no. 5) 783 - 795 M
7. Pucukbumi Darmeswara
(menantu no. 6) 795 - 819 M
8. Prabu Gajah Kulon
Rakeyan Wuwus 819 - 891 M
9. Prabu Darmaraksa
(adik-ipar no. 8) 891 - 895 M
10. Windusakti Prabu
Dewageng 895 - 913 M
11. Rakeyan Kemuning
Gading Prabu Pucukwesi 913 - 916 M
12. Rakeyan Jayagiri
Prabu Wanayasa (menantu no. 11) 916 - 942 M
13. Prabu Resi
Atmayadarma Hariwangsa 942 - 954 M
14. Limbur Kancana
(putera no. 11) 954 - 964 M
15. Prabu Munding
Ganawirya 964 - 973 M
16. Prabu Jayagiri
Rakeyan Wulung Gadung 973 - 989 M
17. Prabu Brajawisesa
989 - 1012 M
18. Prabu Dewa Sanghyang
1012 - 1019 M
19. Prabu Sanghyang
Ageng 1019 - 1030 M
20. Prabu Detya Maharaja
Sri Jayabupati 1030 - 1042 M
Kecuali Tarusbawa (no.
1), Banga (no. 4) - Darmeswara (no. 7) yang hanyaberkuasa di kawasan sebelat
barat Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.
JAMAN PAJAJARAN (1482 -
1579)
A. Kawali Ibukota Baru
1. Pusat Pemerintahan berpindah-pindah
Bila rasa persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia
tumbuh secara bersangsur-angsur, ini mudah dipahami karena banyaknya kelompok
etnik yang menjadi penduduk Indonesia.
Rasa kesatuan etnik Sunda di Jawa Barat pun tidak tumbuh serempak, melainkan
berangsur-angsur.
Telah dikemukakan bahwa
keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852 Tahta Galuh
jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan puteri
keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera
Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan
gelar Prabu Darmaraksa Buana. Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di
Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran
Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 - 895)
dibunuh oleh seorang menteri Sunda yang fanatik.
Karena peristiwa itu,
tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan
dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu
berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai
tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan
rombongan raja baru yang pindah tempat.
Ayah Sri Jayabupati
berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi puteranya berkedudukan
di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di
Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja ke-25, yaitu Prabu Guru
Darmasiksa mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan.
Puteranya (Prabu Ragasuci) berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
Proses kepindahan
seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan kita), namun pengaruh
positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat. Antara Galuh
dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam hal tradisi. Anwas Adiwijaya (1975)
mengungkapkan bahwa orang Galuh itu "orang air", sedang orang Sunda
"Orang Gunung". Yang satu memiliki "mitos buaya", yang lain
"mitos harimau".Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa
tempat yang bernama panereban. Tempat yang bernama demikian pada masa silam
merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh,
mayat harus "dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang
Kanekes yang masih menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda,
mengubur mayat dalam tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan
tradisi "ngurebkeun" di sebelah barat (membekas dalam istilah
Panereban dan Pasarean).
Peristiwa sejarah telah
meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu "Orang Air"
dengan "Orang Gunung" itu menjadi akrab dan berbaur seperti
dilambangkan oleh dongen "Sakadang Kuya jeung Sakadang
Monyet" (kura-kura dan monyet). Dongeng yang khas Sunda ini
sangat mendalam dan meluas dalam segala lapisan msyarakat, padahal mereka tahu,
bahwa dalam kenyataan sehari-hari Monyet dan Kuya (kura-kura) itu bertemu saja
mugkin tidak pernah (di Kebun Binatang pun tidak pernah diperkenalkan).
Dalam abad ke-14 sebutan
Sunda itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam pengertian Wilayah
maupun dalam pengertian Etnik. Menurut Pustaka Paratwan I Bhumi Jawadwipa,
parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Purnawarman untuk Ibukota
Tarumanagara yang baru didirikannya (Sundapura). Idealisme kenegaraan memang
terpaut di dalamnya karena Sundapura mengandung arti Kota Suci atau Kota Murni,
sedangkan Galuh berarti Permata atau Batu Mulia (secar kiasan berarti gadis)].
2. Peran bergeser ke timur
Dalam abad ke-14 di
timur muncul kota
baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali (arti
Kuali atau Belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga
Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu
disangkutpautkan dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang
bertetangga desa dengan Kawali).
Sebenarnya gejala
pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa pemerintahan
Prabu Ragasuci (1297 - 1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu
Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena ia
sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada
masa pemerintahan puteranya Prabu Citraganda, sekali lagi Pakuan menjadi pusat
pemerintahan.
Ragasuci sebenarnya
bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya Rakeyan Jayadarma.
Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Jayadarma adalah
menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah Singamurti
alias Dyah Lembu Tal. Mereka berputera Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih
dikenal dengan nama Raden Wijaya (lahir di Pakuan). Karena Jayadarma wafat
dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan.
Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi,
Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian menjadi Raja
Majapahit yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera
mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur.
Prabu Darmasiksa
kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci sebagai calon ahli warisnya yang
bernama Citraganda. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa (Puteri Kerajaan
Melayu) adik Dara Kencana isteri Kertanegara. Citraganda tinggal di Pakuan
bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja
daerah selama 6 tahun di Pakuan (ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di
Saunggalah). Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan
ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Prabu Lingga Dewata
(putera Citraganda) mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti, menantunya
Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340) sudah berkedudukan di Kawali dan sampai
tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa tahun 1333 - 1482
adalah Jaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal 5
orang raja.
Lain dengan Galuh, nama
Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu
yang tersimpan di "Astana Gede"
Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali"
(bertahta di kota
Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai "Dalem
sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prabu Raja Wastu atau
Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di medan Bubat dalam tahun
1357. Ketika terjadi Pasundan Bubat usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia
adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya
meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi Suradipati
atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda Lalean, dalam Babad
Panjalu disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di
Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati
dimakamkan di Geger Omas.
Setelah pemerintahan di
jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan
menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama
adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir Sang Haliwungan
(setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Usuktunggal). Permaisuri
yang kedua adalah Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati.
Dari perkawinan ini lahir Ningrat Kancana (setelah menjadi penguasa Galuh
bergelar Prabu Dewa Niskala).
Setelah Wastu Kancana
wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala
dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan
perkawinan antar cucu Wastu Kencana. (Jayadewata, putera Dewa Niskala),
mula-mula memperistri Ambetkasih (puteri Ki Gedeng Sindangkasih), kemudian
memperistri Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura).
(Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang
wanita muslim murid Syekh Hasanudin yang menganut Mahzab Hanafi. Pesantren Qura
di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana.
Subanglarang belajar di situ selama 2 tahun. Ia adalah nenek Syarif
Hidayatullah) Kemudian Jayadewata mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda
puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Raja Galuh yang
seayah ini menjadi besan.
3. Ibukota kembali ke
Pakuan
Kejatuhan Prabu
Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi jalan
sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit
akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden
Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa
Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa
Niskala dari salah seorang istrinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang
telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri
menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan "estri larangan ti kaluaran".
Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat
keraton Majapahit. Selain itu, menurut "perundang-undangan" waktu
itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain
kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan.
Dengan demikian, Dewa
Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar
sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan
hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa
kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu
Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata.
Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda
kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482
itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai
"Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan
pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat
pemerintahan.
1. RAJA-RAJA PAJAJARAN
1. Sri Baduga
Maharaja
Zaman Pajajaran diawali
oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama
39 thaun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak
perkembangannya. Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga
dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh
dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru
Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya
(Susuktunggal). Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan
dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri
Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah
"sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan
rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.
Di Jawa Barat Sri Baduga
ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat
dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri
Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan
kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti
saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana
(kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut
tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang
sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama
itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa
Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: "Kawalya ta wwang Sunda lawan
ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi
raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira" (Hanya orang Sunda dan
orang Cirebon
serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi
nama itu bukan nama pribadinya).
Waktu mudanya Sri Baduga
terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah
mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu
bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama
Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang
buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu
Wangi. {Tentang hal ini, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2
mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu
Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut
(artinya saja): "Di medan
perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat
menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan
dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin
oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia
bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan
kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat.
Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau
Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa
bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat
Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di
sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi.
Demikianlah menurut penuturan orang Sunda"}
Kesenjangan antara
pendapat sebagian orang dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di
atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta (penanggung jawab penyusunan Sejarah
Nusantara) menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang
gugur di bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga
melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, menurut naskah Wastu kancana disebut
juga Prabu Wangsisutah). pendapat sebagian orang yang keliru tersebut umumnya
tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai
putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan
disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi.
Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat?. Ini disebabkan Dewa Niskala
hanya menjadi penguasan Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang
penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya i
Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan
Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja
(sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti
diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai
"silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran
Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian
kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai
pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi
dianggap putera Wastu Kancana].
Proses kepindahan isteri
Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh pujangga bernama Kai Raga di
Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya ditulis dalam gaya pantun dan dinamai Carita Ratu Pakuan
(diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18).
Naskah itu dapat
ditemukan pada Kropak 410. Isinya adalah sebagai berikut (hanya terjemahannya
saja):
Tersebutlah Ngabetkasih
bersama madu-madunya
bergerak payung
lebesaran melintas tugu
yang seia dan sekata
hendak pulang ke Pakuan
kembali dari keraton di
timur
halaman cahaya putih
induk permata
cahaya datar namanya
keraton berseri emas
permata
rumah berukir lukisan
alun
di Sanghiyang
Pandan-larang
keraton penenang hidup.
Bergerak barisan depan
disusul yang kemudian
teduh dalam ikatan
dijunjung
bakul kue dengan tutup
yang diukir
kotak jati bersudut
bulatan emas
tempat sirih nampan
perak
bertiang gading ukiran
telapak gajah
hendak dibawa ke Pakuan
Bergerak tandu kencana
beratap cemara gading
bertiang emas
bernama lingkaran langit
berpuncak permata indah
ditatahkan pada watang
yang bercungap
Singa-singaan di sebelah
kiri-kanan
payung hijau bertiang
gading
berpuncak getas yang
bertiang
berpuncak emas
dan payung saberilen
berumbai potongan benang
tapok terongnya emas
berlekuk
berayun panjang
langkahnya
terkedip sambil menoleh
ibarat semut, rukun
dengan saudaranya
tingkahnya seperti semut
beralih
Bergerak seperti
pematang cahaya melayang-layang
berlenggang di
awang-awang
pembawa gendi di
belakang
pembawa kandaga di depan
dan ayam-ayaman emas
kiri-kanan
kidang-kidangan emas di
tengah
siapa diusun di singa
barong
Bergerak yang di depan,
menyusul yang kemudian
barisan yang lain lagi
[yang dikisahkan dalam
pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri BAduga yang pertama
(puteri Ki Gedng Sindang Kasih, putera Wastu Kancana ketiga dari Mayangsari).
Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan bersama isteri-isteri Sri Baduga
yang lain].Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi
dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana)
yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi
mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti
peniggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini
tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang
Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan
Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang
mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa",
"calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan
kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang
selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegus
mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini
disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk
kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga
perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas
timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan).
Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra,
"upeti", "panggeureus reuma". [Dalam kropak 406 disebutkan
bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa
"kapas sapuluh carangka" (10 carangka= 10 pikul = 1 timbang atau
menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas
termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan
kepada penguasa setempat.
"Pare dondang"
disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil
cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh
terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan ke- mudian ditinggalkan
karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat
(tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi
empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus
selalu di gotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun
sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipaka untuk
membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu,
"pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat
barang antaran.
Pajak yang benar-benar
hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di
Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang
harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu,
memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang
ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara
resmi)]
Dalam kropak 630
disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado
atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan
calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya
tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk
dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa
atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas
umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut
kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan
keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua
dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan
"Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa
memangfaatkan trasisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19
bentuknya berubah menjadi "lakongawe" dan berlaku untuk tingkat desa.
Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah
orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja
sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya
tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di
sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para
pembesar setempat. Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan
umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong
royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk
tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut Karyabhakti dan sudah dikenal pada masa
Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga
lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya.
Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas
"kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan
sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga Desa Perdikan (desa bebas
pajak).
Untuk mengetahui lebih
lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri Baduga, marilah kita telusuri sumber
sejarah sebagai berikut:
a.Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah
ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian: "Purbatisi purbajati,
mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon
wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di
sanghiyang siksa" (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak
akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang
sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah
tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama)
Dari Naskah ini dapat
diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama
(Islam) dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut "loba"
(serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang
baru.
b. Pustaka
Nagara Kretabhumi parwa I serga 2
Naskah ini menceritakan,
bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif
Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke
Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia
dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di
Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]. Ketika itu Sri Baduga baru saja
menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan,
bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada
kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya
beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon,
tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan
gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya Jagabaya menghamba
dan masuk Islam.
Peristiwa itu
membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk
menyerang Cirebon.
Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta
tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon
adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela)
dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah
Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi
Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon
dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan
juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa
diterima oleh penguasa Pajajaran].
Demikianlah situasi yang
dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia
mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan,
memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi
tempur). Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis,
di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja
sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya
memiliki 6 buah JUNG dari 150 ton dan beberala Lankaras untuk kepentingan
perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai
4000 ekor/tahun).
Keadaan makin tegang
ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri
dari kedua belah pihak. Ada
4 pasangan yang dijodohkan, yaitu
1. Pangeran Hasanudin
dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi)
2. Ratu Ayu dengan
Pangeran Sabrang Lor
3. Pangeran Jayakelana
dengan Ratu Pembayun
4. Pangeran Bratakelana
dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa)
[Perkawinan Sabrang Lor
(Yunus Abdul Kadir) dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala
(Panglima angkatan laut) Kerajaan Demak, ia untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan
Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512,
ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso
D'albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja merebut Pelabuhan Pasai).
Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan
Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena
masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara
Pajajaran dengan Cirebon
tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan Sektor-Sektor
Pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu
akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak
membencinya karena salah seorang permaisurinya (Subanglarang) adalah muslimah
dan ketiga anaknya (Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang dan Raja
Sangara) diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak
berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing-masing pihak dapat
mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga
dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut
mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom
of Sunda is justly
governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan
adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan
Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica
bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin
(asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga
Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang
ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut
masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan)
sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan
kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja
alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan
di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut
Secara Anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di
Rancamaya (di sinilah nilai khusus Rancamaya). Rancamaya terletak kira-kira 7
Km di sebelah tenggara Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata air yang sangat
jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno
dengan pelataran berjari-jari 7.5 m tertutup hamparan rumput halus dan
dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat Pohon
Hampelas Badak setinggi kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin.
Dewasa ini seluruh situs
sudah "dihancurkan" orang. Pelatarannya ditanami ubi kayu,
pohon-pohonannya ditebang dan makam kuno itu diberi saung. Di dalamnya sudah
bertambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata
pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf
Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah
dipopulerkan orang sebagai Makam Wali. Kejadian ini sama seperti kuburan Embah
Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya yang
"dijual" orang sebagai "makam Raja Galuh".
Telaga yang ada di
Rancamaya, menurut Pantun Bogor, asalnya bernama Rena Wijaya dan kemudian
berubah menjadi Rancamaya. Akan tetapi, menurut naskah kuno, penamaannya malah
dibalik, setelah menjadi telaga kemudian dinamai Rena Maha Wijaya (terungkap
pada prasasti). "Talaga" (Sangsakerta "tadaga") mengandung
arti kolam. Orang Sunda biasanya menyebut telaga untuk kolam bening di pegunungan
atau tempat yang sunyi. Kata lain yang sepadan adalah situ (Sangsakerta, setu)
yang berarti bendungan.
Bila diteliti keadaan
sawah di Rancamaya, dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu membentang dari
hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara jalan lama yang
mengitarinya dan berseberangan dengan Kampung Bojong. Pada sisi utara lapang
bola Rancamaya yang sekarang, tepi telaga itu bersambung dengan kaki bukit.
Bukit Badigul memperoleh
namanya dari penduduk karena penampakannya yang unik. Bukit itu hampir
"gersang" dengan bentuk parabola sempurna dan tampak seperti
"katel" (wajan) terbalik. Bukit-bukit disekitarnya tampak subur.
Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu
"dikerok" sampai mencapai bentuk parabola. Akibat pengerokan itu
tanah suburnya habis.
Bagidul kemungkinan
waktu itu dijadikan "bukit punden" (bukit pemujaan) yaitu bukit
tempat berziarah (bahasa Sunda, nyekar atau ngembang=tabur bunga). Kemungkinan
yang dimaksud dalam "rajah Waruga Pakuan" dengan Sanghiyang Padungkulan
itu adalah Bukit Badigul ini.
Kedekatan telaga dengan
bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja beserta para
pembesar Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci di Gangganadi (Setu
Gangga) yang terletak dalam istana Kerajaan Indraprahasta (di Cirebon Girang).
Setelah bermandi- mandi suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang
terletak dekat sungai.
Spekulasi lain mengenai
pengertian adanya kombinasi Badigul-Rancamaya adalah perpaduan gunung-air yang
berarti pula Sunda-Galuh.
2. Surawisesa (1521 - 1535)
Pengganti Sri
Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu
Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan
"kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen"
(pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran.
Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan
hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2
dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya
menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke
Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan
penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires,
sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang
dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan
itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan
dan keamanan. [Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan, akan tetapi
sumber portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van deze
overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een
behield" (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu
masing-masing pihak memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu
ditandatangai 21 Agustus 1522.
Dalam perjanjian itu
disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk
itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar
dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada
saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap
tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos"
(kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian Pajajaran -
Portugis sangat mencemaskan Trenggana (Sultan Demak III). Selat Malaka, pintu
masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang
berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk
perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan
laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana
segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati
Demak. [Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana.
Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II).
Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu
Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan
Susuhunan Jati karena buyutnya Barkat Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin
(kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah). Selain itu Fadillah masih terhitung
cucu SUNAN Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahin Zainal
Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan
Demak I).
Barros menyebut Fadillah
dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan. Tome
Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan sehari-hari).
Kretabhumi I/2
menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase) terletak
di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam
Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan
Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia
susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya
Burah.
Pasukan Fadillah yang
merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama
adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului
dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para
pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak.
Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota
Pakuan. Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi
Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya
menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para
menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan
pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan
Meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang
terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat
menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersipakan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan
berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada
ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi
ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena
Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di
Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan
memberikan nama kepada Cisadane "Rio de
Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin
(dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat
mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan
menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan
korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun
1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan
tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan,
maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga
wafat, Pajajaran dengan Cirebon
berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif
Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau
bernama pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu
Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon
menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.
Cirebon sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi
berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak
goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan
Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi
goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh
Banten di kemudian hari.
Perang Cirebon -
Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat,
yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai
kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan.
Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak
karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan
Pasukan Meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak
berdaya menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng
dan bersuara seperti guntur
serta memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena
meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga,
benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Sumedang masuk ke dalam
lingkaran pengaruh Cirebon
dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21
Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif
Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama
di Cirebon. Ia
menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum Sumedang.
Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon.
Dengan kedudukan yang
mantap di timur Citarum, Cirebon
merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat
dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik
dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai
perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri
sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon,
ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota
Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten).
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan
peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil
memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya
dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa
pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan
dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu
mempertahankan daerah inti kerajaannya.
Dalam suasana seperti
itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi
kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya.
Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu
mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya.
Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat Sakakala
(tanda peringatan buat ayahnya). Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang
telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasti Batutulis yang
diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa Lingga
Batu ditanamkan.
Penempatannya sedemikian
rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak
ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui
(dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah.
Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga
Batu. Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan
dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi Astatala ukiran jejak tangan,
yang lainnya berisi Padatala ukiran jejak kaki. [Mungkin pemasangan batutulis
itu bertepatan dengan upacara Srada yaitu "penyempurnaan sukma" yang
dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang
yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa dalam kisah
tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya
Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang
terletak di daerah Pasar Minggu sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana,
cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun
Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak
kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kaung Pandak). Di Muara
Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan
Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini
jaman dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak
11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut Jalan Banten Lama ("oude Bantamsche weg").
Surawisesa memerintah
selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai Sakakala
untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di PADAREN. Diantara raja-raja jaman
Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik
babadd maupun pantun. [Babad Pajajaran atau Babad Pakuan sebenarnya mengisahkan
"petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan gaya cerita Panji.
3. Ratu
Dewata (1535 - 1543)
Surawisesa digantikan
oleh puteranya (Ratu Dewata). Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai
panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim
dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara Sunatan (adat khitan pra-Islam) dan
melakukan tapa Pwah-Susu (hanya makan buah-buahan dan minum susu). Menurut
istilah kiwari= vegetarian.
Resminya perjanjian
perdamaian Pajajaran - Cirebon
masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai Tunggul Negara ia harus
tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk Politik.
Hasanudin dari Banten
sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran - Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena
kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan jati) yang melihat kepentingan
Wilayah Cirebon
di sebelah timur Citarum. Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan
perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan
Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas
resmi yang mampu bergerak cepat.
Kemampuan pasukan Banten
dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan
merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf. Menurut
Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan
mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal
asal-usulnya).
Ratu Dewata masih
beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15
kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu
menghadapi sergapan musuh. Disamping itu, ketangguhan benteng Pakuan
peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan
Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. Alun-alun Empang sekarang
pernah menjadi Ranamandala (medan
pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan
kepada cucunya. Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran
gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet.
Kokohnya benteng Pakuan
adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan
yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari
kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan
keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas
pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara
Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja) "Sang Maharaja
membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya,
membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh
kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya
untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat.
Kemudian membuat Kaputren (tempat isteri-isteri-nya), Kesatrian (asrama
prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan memperkuat
angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa
dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Amateguh Kedatwan
(memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit"
(memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti
pokok keraton atai kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata
kedatuan dalam hal ini Kota Raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.
Selain hal di atas, juga
lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut Lemah Duwur atau Lemah Luhur
(dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak
berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di
Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi 3 batang
sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus
tahun sebelum masehi} Lokasi Pakuan merupakan lahan Lemah Duwur yang satu
sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane
dan Cipaku merupakan pelindung alamiah. Tipe Lemah Duwur biasanya dipilih sama
masyarakat dengan latar belakang kebudayaan Ladang. Kota-kota yang seperti ini
adalah Bogor,
Sukabumi dan Cianjur. Kota
seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan
Perkebunan.
Tipe lain adalah apa
yang disebut Garuda Ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat
dengan latar belakang Kebudayaan Sawah. Mereka menganggap bahwa lahanyang ideal
untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan
berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini
misalnya Garut, Bandung
dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih
oleh Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon
karena ia orang Sindangkasih (Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu
kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola Garuda Ngupuk pada lokasi Pusat Kota
Sumedang yang sekarang.
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu
ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di
Sumedeng, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa
Kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang
alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena
raja harus "memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya
itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan
Manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah
Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada
para pembaca) "Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik
pupuasaan" (Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau
berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya penulis
kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia
tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek
"Samangkana ta precinta" (begitulah jaman susah).
4. Ratu Sakti
(1543 - 1551)
Raja Pajajaran keempat
adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang
bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan
pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati
tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk
kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Kemudian raja ini
melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini "estri
larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih
ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para
selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung
karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu
Sultan Trenggana menyerbu Pasurua dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti
dipusarakan di Pengpelengan.
5. Ratu Nilakendra
(1551 - 1567)
Nilakendra atau Tohaan
di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu
situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala
lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong
huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah
akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu) Ini merupakan
berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan
kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan
serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para
pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan
mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang
bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Seringkali, untuk
mempercepat keadaan tidak sadar itu, digunakan meinuman keras yang didahului
dengan pesta pora makanan enak. "Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan
agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenaginya
kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra
malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu
("dibalay") mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah
keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah
dengan emas.
Mengenai musuh yang
harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah
"bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera
inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya
dalam menghadapi Laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib
Nilakendra dikisahkan
"alah prangrang,
maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di
keraton).
Nilakendra sejaman
dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah
Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan
puteranya Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam
serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf
Peristiwa kekalahan
Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun
1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian. Demikianlah, sejak saat itu ibukota
Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk
dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12
tahun lagi.
6. Raga Mulya
(1567 - 1579)
Raja Pajajaran yang
terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah
Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak
berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia
disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. Mungkin raja ini berkedudukan di
Kadu-hejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari
Menurut Pustaka
Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, "Pajajaran sirna ing ekadaca
cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala"
(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka).
Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.
Sejarah Banten
memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke
Pakuan dalamPupuh Kinanti (artinya saja)
"Waktu
keberangkatan itu
terjadi bulan Muharam
tepat pada awal bulan
hari Ahad tahun Alif
inilah tahun Sakanya
satu lima kosong satu"
Walaupun tahun Alief
baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan
perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada
tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu
Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Yang terpenting dari
naskah Banten tersebut adalah memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah
terjadi "penghianatan". Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit
hati karena "tidak memperoleh kenaikan pangkat". Ia adalah saudara Ki
Jongjo (seorang kepercayaan Panembahan Yusuf). Tengah malam, Ki Jongjo bersama
pasukan khusus menyelinap ke dalam kota
setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan oleh saudaranya itu. [Kisah itu
mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya
benteng Pakuan yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12
tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya].
Berakhirlah jaman
Pajajaran (1482 - 1579), ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana
(Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh
pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong
ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian.
Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi
dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf
merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut
perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Dalam Carita
Parahiyangan di beritakan sebagai berikut:
"Sang Susuktunggal
inyana nu nyieuna palangka
Sriman Sriwacana Sri
Baduga Maharajadiraja Ratu
Haji di Pakwan Pajajaran
nu mikadatwan Sri Bima
Punta Narayana Madura
Suradipati, inyana Pakwan
Sanghiyang Sri Ratu
Dewata
(Sang Susuktunggal ialah
yang membuat tahta
Sriman Sriwacana (untuk)
Sri Baduga Maharaja ratu
penguasa di Pakuan
Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima
Punta Narayana Madura
Suradipati yaitu istana
Sanghiyang Sri Ratu
Dewata).
Kata Palangka secara
umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini
adalah Tahta Nobat yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara
penobatan. Di atas Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta
tertinggi. Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana.
Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap.
Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau
Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa).
Batu Pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di
Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas
pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara Batu Ranjang dengan kaki berukir
dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada
petakan sawah yang terjepit pohon).
Palangka Sriman
Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di
Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang
berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
STRUKTUR KERAJAAN DAN BIROKRASI
A. Struktur Kerajaan
Pajajaran sebagai nama
kerajaan, memang belum pernah ditemukan dalam sumber-sumber prasasti, hampir
semua bukti yang ada memberikan gambaran bahwa Pajajaran hanya sebagai pusat
kerajan(ibu kota),
lengkapnya Pakwan Pajajaran (prasasti Kebantenan dan Batutulis). Pajajaran sebagai nama
kerajaan, ditemukan terutama didalam naskah-naskah yang lebih bernilai sastra,
termasuk arita pantun yang berupa peninggalan sastra
yang bersipat oral history (sumber lisan). Di dalam carita pantun, disebutkan
hamper sedikitnya tiga buah daerah yang disebut Pajajaran, masing-masing yaitu;
Pajajaran Timur, Pajajaran Tengah dan Pajajaran Barat, pajajaran Timur mnurut
sumber carita pantun tersebut terletak di daerah Banyumas sekarang, sementara
Pajajaran Barat terletak di daerah Banten. Dengan demikian, daerah yang
terbentang antara banten dan Banyumas, termasuk wilayah Pajajaran tengah
(marwati dan Noegroho, 1993:376).
Sumber-sumber asing dari
masa yang sejaman, juga tidak pernah menyebutkan tentang adanya kerajaan yang
bernama Pajajaran. Tome Pires dalam perjalanannya menyebutkan adanya sebuah
Negara Cunda (=
Sunda) dengan ibukotanya yang bernama Dayo (= Dayoh). Sebuah berita Portugis
lainnya menyebutkan bahwa pada tahun 1512, Hendrik de Leme memimpin perutusan
Portugis dari Malaka ke Sunda, yang beribukota dayo juga. Dari sumber Portugis
ini sedikitnya masih ada tiga berita lain yang menyebutkan Sunda. Didalam bukunya Da
Asia sejarawan
Portugis yang bernama Barros Menyebutkan bahwa daerah Sunda terbenteng antara
ujung Jawa Barat di pantai Barat sampai sungai Cimanuk. Sedangkan menurut
Barbosa Qumda (=
Sunda) adalah suatu tempat yang kecil saja dimana terdapat banyak lada. Dari
masa yang sama, muncul sebuah sajak yang ditulis oleh Luis de Camoes. Seorang
penyair yang ikut dalam pelayaran keliling dunia dengan Magelhaen. Didalam
sajaknya “Os Lusiada” (Canto X). Camoes antara lain menulis;” …….Kesana kerajaan Sunda menjengkaukan lengan kuasa….” . Sementara itu , “Illha do Jaoa”,
sebuah peta yang dibuat oleh Pero de Lavanha (1524) malah dengan tegas
memisahkan daerah yang disebut “Sunda” atau “Zunda” dari “Jaoa”.
Hal yang sama juga
ditemukan di dalam berita Cina, berita yang berasal dari Cheng-ho ada
disebutkan bahwa ia beberapa kali diutus oelh kaisar Cina ke Negara-negara yang
terletak di sebelah selatan Cina. Salah satu Negara yang pernah dikunjunginya
bernama Sun-la, yang kemungkinan besar merupakan lafal Cina dari Sunda.
Bahan yang berasal dari
dalam negeri, juga sesuai dengan sumber yang bersal dari luar. Cerita
Parahyangan sudah
menyebutkan adanya seorang Tohaan di Sunda (= yang dipertuan di Sunda) sebagai
mertua Rahyang Sanjaya. Daerah yang disebut Sunda itu terletak di sebelah barat
(Ci)tarum. Dalam naskah itu nama Sunda itu beberapa kali muncul, baik sebagai
nama daerah, bangsa, maupun adat-kebiasaaan. Sebagai daerah, selain yang
disebut di atas. Sunda muncul lagi dalam pristiwa yang dikenal sebagi Perang Bubat
(1357). Sebagai nama daerah selain dalam Cerita Parahyangan, Sunda juga disebut
dalam beberapa naskah lain. Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesiang menyebutkan “…urang lömpang ka jawa, hamo urung carekna, döngön
carana, mangu rasa urang, anggös ma urang pulang döi ka sunda….”Kita
pergi ke jawa tidak mengikuti bahasa mereka, demikian juga adatnya, canggunglah
perasaan kita, setelah kita kembali ke sunda. Pararaton juga menyebuutkan Sunda sebagai
daerah: “….Tumuli Pasunda bubat, Bhre
prabhu ayun ing putri ring Sunda. Patih Madu ingutus angundangeng wong Sunda,
ahidep wong Sunday an awawarangana….” Lalu terjadilah peristiwa Sunda-Bubat.
Bhre Prabu menginginkan putrid dari Sunda. Patih Madu diutus untuk mengundang
orang Sunda, (karena) baiklah seandainya orang Sunda dijadikan besan….
Sementara itu sebuah naskah lain dengan jelas sekali mempergunakan Sunda
sebagai namanya, yaitu Kidung Sundayana. Dalam hubungannya
dengan dat kebiasaan, nama Sunda kita dapati dalam Cerita
Parahyangan pada
bagian yang mengisahkan Prabu Ratudewata: (XXI)… disunat ka tukangna, jati
sunda tea… disunat
kepada ahlinya, itulah adat sunda asli.
Bukti lain yang
memperkuat tentang adanya kerajan Sunda adalah sumber prasasti yang menyebutkan
tentang adanya sebuah Negara yang bernama prahajya sunda, sedangkan rajanya yang bernama
Sri Jayabhupati, menyebut dirinya sebagai haji ri sunda (raja di sunda). Sumber lain
dalah prasasti yang ditemukan di Jawa Timur, yaitu prasasti Horrenbertuliskan “/6/
ring kahadradara, nguniweh an dadyan tumangga-tangga datang nikanang satru
sunda, mangkana rasa ning panembah ni, /6/”(pada saaat kekacauan,
apalagi apabila kemudian terjadi tetangga (lalu) datanglah musuh (dri) Sunda.
Demikian rasanya yang memohon kepada).
Tome’ Pires dalam
catatan perjalanannya menyebutkan bahwa raja Sunda bertakhta di ibukota Dayo,
yang letaknya agak di pedalaman. Ibukota itu dapat dicapai dalm dua hari
perjalanan dari (Sunda) Kalapa, kota
pelabuhan kerajaan Sunda yang terbesar dan juga terpenting. Mengenai system
pemerintahan yang berlaku di kerajaan Sunda, TomePires menyebutkan, nahwa
kerajaan Sunda diperintah oleh seorang rja. Disamping raja pusat, di
daerah-daerah tertentu, terdapat raja-raja yangf berkuasa di derah mereka
masing-masing. Hak waris takhta diturunkan kepada anaknya, tetapi jika raja
tidak punya anak, maka yang menggantikan dipilih di antara raja-raja daerah
yang tebesar.
Kerajaan sunda memiliki
enam buah pelabuhan penting, yang masing-masing dikepalai oleh seorang
Syahbandar (nakhoda). Mereka bertanggungjawab kepada raja, dan bertindak
sebagai wakil raja di Bandar-bandar yang mereka kusai. Keenam Bandar tersebut
ialah Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Kalapa dan Cimanuk.
Sebuah naskah yang
berasal dari tahun 1518 Sanghyang Siksakanda ng Karesian. Memberikan keterangan yang
dapat dipergunakan untuk mengisi kekosongan dalam masalah struktur kerajaan
ini. Didalam naskah itu antara lain disebutkan bahwa
…..nihan sinangguh dasa prebakt nagaranya: anak bakti
di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di pacandaaan. Sisya bakti di guru,
wong tani bakti di wado,wado bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan,
nuangganan bakti di amngkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata,
dewata bakti di Hyang….,
….inilah perigatan yang
disebut sepuluh kebaktian: anak bakti kepada bapa, istri bakti kepada suami,
rakyat bakti kepada majikan(pacandaaan=tempat
bersandar), murid bakti kepada guru, petani bakti kepada wado (= penjabat rendahan). Wado bakti kepada mantri (=pegawai), mantra bakti kepada nu nangganan, nu nangganan bakti kepada Mangkubumi,
Mangkubumi bakti kepada Raja/ratu, Raja/ratu bakti kepada Dewatas, Dewata
bakhti kepada Hyang….
Dari kutipan di atas
jelas bahwa penjabat yang paling dekat hgubungannya dibawah Raja ialah
Mangkubumi. Ia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi atu dilakukan
oleh bawahannya, yaiutu nu nangganan, lalu berturut-turut kebawah
kita jumpai penjabat-penjabat yang disebut mantri dan wado. Berdasarkan bahan-bahan yang
ada tersebut baramngkali dapatlah disusun struktur kerajaan Sunda pada masa itu
sebgai berikuit:
Ditingkat pemerintahan
pusat, kekuasaan tertinggi betrada ditangan raja. Dalam pelaksanaan tugasnya
sehari-hari, raja dibantu oleh Mangkubumi yang membawahi beberapa orang nu
nanganan. Di
samping itu terdapat pula Putra Mahkota, yang akan menggantikan kedudukan sang
Raja, jika raja meninggal dunia atau mengundurkan diri. Untuk mengurus
daerah-daerah yang luas, Raja di bantu oleh beberapa orang Raja daerah.
Raja-raja daerrah itu dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari, bertindak
sebgai Raja yang merdeka (mempunyai Hak otonomi yang luas), tetapi mereka tetap
mengakui Raja Sunda yang bertahta di pakwan Pajajaran atau Dayo sebagai jungjunan mereka. Dalam keadaaan Raja
tidak meninggalkan pewaris takhta, maka salah seorang Raja dari daerah-daerah
itu dapat dipilih dapat dipilih untuk mengantikan kedudukan Sang Raja sebagai
Raja terbesar yang bertakhta di Pakwan Pajajran. Sementara itu, untuk mengurus
masalah yang langsung berhubungan dengan perniagaan, di keenam buah bandarnya, raja
diwakili oleh para Syahbandar. Yang bertindak untuk dan atas nama Raja Sunda di
daerah yang mereka kuasai masing-masing.
Struktur kerajaan
seperti itu rupanya yang paling sesuai dengan kondrat kerajaan Sunda.
Carita-carita pantun juga umumnmya mengisahkan adanya seorang Putra Raja
Pajajaran yang mengembara, dan dalam pengembaraannya itu ia menaklukan
raja-raja kecil yang ditemuinya, setelah raja-raja kecilitu takluk, mereka
kemudian diangkat lagi menjadi penguasa di daerahnya masing-masing dengan syarat
bahwa mereka harus mengakui kekuasaan tertinggi yang ada di Pakwan Pajajaran.
BOGOR TUNAS PAJAJARAN
1. Masa Tilem
Waktu antara
"Pajajaran sirna" sampai "ditemukannya kembali" oleh
ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota yang pernah berpenghuni sekitar 48271
jiwa ini ditemukan sebagai "puing" yang diselimuti oleh hutan tua
(geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703). Untuk jamannya, Bogor
merupakan kota terbesar kedua di Indonesia
setelah Demak (berpenduduk 49197 jiwa), dan masih dua kali lipat lebih banyak
dari penduduk Pasai (23121 jiwa) yang merupakan kota terbesar ketiga.
Pakuan tersisih dari
percanturan hidup. Kemewahan yang ditampilkan oleh penghuni keraton dalam masa
Nilakendra hanyalah ibarat Kobaran Api Lilin Menjelang Padam. Setelah raja
tidak lagi berdiam di ibukota, maka kehidupan Pakuan sebagai pusat pemerintahan
sebenarnya sudah berakhir. Panembahan Yusuf dari Banten memadamkannya
"secara resmi" walaupun sebenarnya ia sudah berhasil mengakhiri
kekuasaan Raga Mulya (Suryakancana) di Pulasari sebelum itu.
Masa silam yang lebih
sering memantulkan gema yang kabur, proyeksinya dapat kita lihat dalam lakon
pantun dan babad. [Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana sendiri yang
mengantarkan Scipio jelas baru terpisah satu abad dengan kehidupan Pakuan.
Tanggal 1 September 1687 itu mereka menjadi peziarah pertama di puing Kabuyutan
Pajajaran yang mereka duga sebagai singggasana raja.
Dalam tahun 1703,
Abraham van Riebeeck sudah melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring
di kabuyutan tersebut. Jadi sejak ditemukan oleh rombongan Scipio, orang merasa
"bertemu kembali" kembali dengan Pajajaran yang telah hilang.
Tahun 1709, Van Riebeeck
melihat ladang baru pada lereng Cipakancilan. Tanda kehidupan baru di bekas
Pakuan mulai muncul. Mudah diperkirakan bahwa peladang itu akan membuat dangau
tempat tinggalnya pada tepi alur Cipakancilan yang tidak kelihatan oleh Van
Riebeeck karena ia berkuda pada jalur jalan Pahlawan yang sekarang]
Lain lahan lain pikiran.
Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya "dihidupkan
kembali" tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang dirindukkan dan
disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran
menyentuh hati mereka "Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran
Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan" (Sudah dekat ke Pajajaran
menurut lantun Cianjuran Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) Pakuan
terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini
akhirnya menjelmakan gagasan Pajajaran Ngahiang atau Pajajaran Tilem seperti
orang Ciamis yang kehilangan Galuhnya mencetuskan Dunia Onom.
"Pajajaran henteu
sirna, tapi tilem ngawun-ngawun"
(Pajajaran tidak hilang,
Pakuan hanya ngahiang)
Ini adalah kata-kata
orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajarannya, bahkan mereka berani
menghibur diri dengan berkata:
"Ngan engke bakal
ngadeg deui"
[Suatu saat akan berdiri
kembali)
2. Tanuwijaya Peletak Dasar Negeri Bogor
Riesz. dalam "De
Geschiedenis van Buitenzorg" (1887) menjelaskan bahwa Tanuwijaya adalah
orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk "pasukan pekerja"
dan mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka Hutan Pajajaran sampai
akhirnya ia mendirikan Kampung Baru yang menjadi tempat "kelahiran"
(de bakermat) Kabupaten Bogor yang didirikan kemudian. Tanuwijaya dalam catatan
VOC disebut "Luitenant der Javanen" (Letnan orang-orang Jawa dan
merupakan Letnan Senior diantara teman-temannya. Kampung Baru yang didirikannya
ada di Cipinang (Jatinegara) dan di Bogor.
Yang di Bogor
mula-mula bernama Parung Angsana. Tetapi ketika Tanuwijaya pindah dari Kampung
Baru Cipinang ke sana,
ia kemudian memberi nama Kampung Baru. Sekarang bernama Tanah Baru.
Terpengaruh oleh
kunjungannya ke bekas Ibukota Pakuan bersama Scipio, ia kemudian ingin
mendekatkan diri dengan peninggalan Siliwangi. Kampung-kampung seperti Parakan
Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung
Banteng dan Cimahpar adalah kampung-kampung yang didirikan oleh Tanuwijawa
bersama pasukannya. Kampung Baru (Parung Angsana) saat itu sudah menjadi
semacam "pusat pemerintahan" bagi kampung-kampung yang didirikan
secara terpencar oleh anak buahnya. Tanuwijaya pula yang mengambil inisiatif
membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan
orang-orang Kumpeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman
pada daerah aliran Cikeas. Sementara itu daerah aliran Ciliwung antara Kedung
Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang Mataram yang tidak mau
kembali ke daerah asalnya setelah tercapainya persetujuan antara Mataram dan
VOC tahun 1677. Sebagian dari mereka adalah pelarian pasukan Bahurekso,
sebagian lagi kelompok resmi yang dikirimkan oleh Sunan Amangkurat I tahun 1661
ke Muara Beres bekas basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Benteng
Batavia].
Rasa hormat Tanuwijaya
terhadap bekas Ibukota Pakuan demikian besar sampai gerakan okupasinya
dihentikkan pada sisi utara Ciliwung. Ia tidak berani melintasinya. Juga kepada
rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai tersebut dianjurkan agar
melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua).
Almarhum M.A. Salmun
pernah menulis dalam Majalah Intisari (salah satu nomor tahun pertama), bahwa
Menak Ki Mas Tanu dalam lirik lagu Ayang-Ayang Gung itu dimaksudkan Tanuwijaya
ini. Entahlah, akan tetapi hampir tiap baris lirik lagu itu dapat diterapkan
kepada keadaan Tanuwijaya dalam riwayat hidupnya. Ia memang anak emas Kumpeni
dan dibenci oleh rekan-rekannya. Ia ditunjuk oleh Camphuijs menggantikan Letnan
Pangirang (orang Bali) untuk membuka daerah
selatan.
Rupa-rupanya kedekatan
batin Tanuwijaya dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap
Kumpeni. Ia tentu merasakan kepahitan bahwa sebagai seorang letnan tetap harus
tunduk kepada seorang sersan seperti Scipio yang kulit putih, padahal ia
sendiri menjadi atasan sersan pribumi. Akhirnya "anak emas" Kumpeni
ini menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat
senjata terhadap perluasan daerah kekuasaan VOC. Mereka kalah dan Tanuwijaya
dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.
Orang dulu menyindir
Tanuwijaya dengan "lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong"
(ia mengejar harapan kosong dan bermesraan dengan orang tidak bergigi) Yang
dimaksudkan dengan "orang tidak bergigi" di sini adalah Perwatasari
yang kalah dalam perjuangan.
Dalam masa penjajahan
Belanda, penyusun Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan nama Tanuwijaya
sebagai "bupati pertama". Dalam daftar silsilah biasanya selalu
dicantumkan Mentengkara atau Mertakara kepala Kampung Baru yang ketiga (1706 -
1718). Ia adalah putera Tanuwijaya (menurut De Haan). Sebaliknya para penulis
Belanda, lebih leluasa menyebutkan Tanuwijaya sebagai Bupati Kampung Baru
pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor.
Pengalaman Tanuwijaya
dengan Kumpeni adalah mirip dengan pengalaman Untung Surapati. Akan tetapi,
jika benar lirik "Ayang-ayang Gung" diciptakan untuk menyindir
Tanuwijaya, maka kita patut merenungkannya kembali].
Tahun 1745, 9 distrik,
yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindangbarang, Balubur,
Darmaga dan Kampung Baru digabungkan menjadi satu "pemerintahan" di
bawah kepala Kampung Baru dan diberi gelar Demang. Gabungan 9 distrik inilah
yang dahulu disebut "Regentschap Kampung baru" atau "Regentschap
Buitenzorg". Atas dasar itulah kedua sungai (Cisadane dan Ciliwung) dalam
lambang Kabupaten Bogor masing-masing digambarkan dengan 9 baris gelombang. Ada benarnya apa yang
dikemukakan Riesz, bahwa Kampung Baru (Tanah Baru) adalah "de
bakermat" (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor.
3. Letusan Gunung Salak
Pada malam hari tanggal
4/5 Januari 1699, Gunung Salak meletus dengan iringan gempa bumi yang sangat
kuat. Sebuah catatan dari tahun 1702 menceritakan keadaan yang diakibatkannya:
"Dataran tinggi antara Batavia dengan
Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta yang disebut Pakuan yang asalnya
berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi berubah menjadi lapangan yang
luas dan terbuka tanpa pohon-pohonan sama sekali.
Permukaan tanah tertutup
dengan tanah liat merah yang halus, seperti yang biasa digunakan tukang tembok.
Di beberapa tempat telah mengeras sehingga dapat menahan beban langkah yang
berjalan di atasnya, tetapi pada tempat- tempat lain orang dapat terbenam
sedalam satu kaki.
Di tempat bekas keraton
yang disebut Pakuan yang terletak di antara Batavia dengan Cisadane belum
pernah terjadi bencana lain yang menyebabkan tanah tersobek dan pecah
terbelah-belah menjadi retakan-retakan besar yang lebih dari satu kaki
lebarnya".
Berita lain mencatat
bahwa aliran Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang bebebrapa ratus meter
akibat lumpur yang dibawanya. Van Riebeeck yang membersihkan sumbatan itu
mengajukan tuntutan agar tanah Bojong Manggis dan Bojong Gede diberikan
kepadanya sebagai upah.
Untuk meneliti akibat
gempa ini, Kumpeni mengirimkan ekspedisi Ram & Coops dalam tahun1701 ke
kaki Gunung Pangrango. Dari survey ini diberitakan bahwa aliran Cikeumeuh masuk
terbenam ke dalam tanah dan sobekan Puncak Gunung Salak menghadap ke arah barat
laut. Diperkirakan, bahwa tanah yang terbelah hebat itu terjadi antara Ciliwung
dan Cisadane. [Panen batu dan pasir di daerah Ciapus saat ni adalah merupakan
hadiah yang ditinggalkan oleh letusan Gunung Salak].
Tidak ada berita
mengenai nasib penduduk sepanjang aliran Ciliwung waktu itu. Hanya saja pada
tahun 1701, penduduk Kampung Baru masih dapat mengantar Ram & Coops. Selain
itu Abraham van Riebeeck tidak mencatat apa-apa mengenai sisa-sisa akibat
letusan itu. Ini menunjukkan bahwa kehidupan penduduk yang masih jarang itu
tidak terganggu. Tahun 1704 Van RiebeecK mendirikan pondok peristirahatan di
Batutulis karena ia menganggap Gunung Salak sudah tidak menakutkan lagi.
4. Kopi membuka Cakrawala Baru
Usaha Gubernur Jenderal
Henricus Zwaardecroon (1718 - 1725) membiakkan tanaman kopi di sekitar benteng Batavia berhasil baik.
Tahun 1721 hasil kopi sudah bisa dihasilkan di beberapa daerah, diantaranya:
Daerah Produksi, (Pikul)
Kampung Baru, 61 000
Kedung Badank, 1 596
Cipamingkis, 43 825
Cianjur & Jampang,
59 900
Cibalagung, 5 750
Cikalong, 4 350
Bekasi, 482
Jati Nagara, 8 450
Cibadak (Cipamingkis),
250
Pager Wesi, 800
Tangerang, 1 800
Melihat hasil yang baik
ini, maka sejak 15 April 1723 tanaman kopi diwajibkan juga di tanah-tanah
swasta sekitar Jakarta.
Sejak saat itu, mulailah apa yang disebut "Sistem Periangan"
(Preanger Stelsel) yang berlangsung 2 abad lamanya. Tahun 1724, Wiranatu III
(Bupati Cianjur) telah dapat memanen kopi sebanyak 1 216 257 pikul (berharga
202 271,25 ringgit).
Tanaman yang diwajibkan dalam
"stelsel", selain kopi adalah kapas, lada dan tarum (indigo). Akan
tetapi, saat itu kopi menjadi komoditi utama karena laku keras di pasar dunia.
Produk kopi dari Jawa Barat ini laku keras di Meksiko dan telah berjasa
menolong Kas Keuangan Pemerintah Hindia Belanda jamannya Daendels. Saat itu,
hubungan ke negeri Belanda terputus akibat peperangan antara Perancis dan
Inggris. Atas dasar ini Jawa barat mendapat julukan Gabus Pelampung Pemerintah
Hindia Belanda Di Indonesia. Politik dan sistem pemerintahan Belanda di Jawa
Barat selalu disesuaikan dengan kepentingan kopi ini. Sistem tanam paksa yang
hanya berlaku di Cirebon
disebut Culturstelsel.
5. Bogor
"sirung" Pajajaran
Di lokasi Istana Bogor
sekarang, mula-mula dibangun sebuah bangunan sederhana oleh van Imhoff yang
dimaksukan untuk singgah istirahat dalam perjalanan dari benteng Batavia ke Cipanas (jadi menurut penulis adalah kurang
tepat kalau menyebut Istana Bogor
itu gagasan van Imhoff). Van Imhoff sendiri merencankan membuat istana di
Cipanas. Di Cipanas pula didirikan Rumah Sakit Militer waktu itu. [Baron van
Imhoff adalah tipe khusus kaum elite terpelajar eropa barat abad ke-18 yang
umumnya cenderung kepada liberalisme Perancis dan penganut setia faham
Romantisme ajaran
Rosseau. Ajaran ini menhanjurkan manusia kembali kepada alam dan peradaban
dianggap sebagai "racun bagi kemurnian manusia.
Mode kaum cendikiawan
Eropa Barat waktu itu adalah mencari tempat-tempat yang sepi-hening. Mencari
daerah yang kalau mungkin belum dijamah oleh tangan peradaban sehingga dapat
digunakan sebagai tempat persembunyian di mana kesibukan tidak mungkin
mengejarnya. Dengan penuh kerinduan mereka mengaakrabi tampang alam dan dengan
demikian mereka menikmati kehadiran dirinya sebagai bagian dari alam itu.
Mode para pencari
kewajaran alami ini adalah membangun vila
sederhana yang mungil dan serasi dengan alam sekitarnya. Tempat-tempat seperti
ini dinamakan Sans-Souci, kata berbahasa Perancis yang
berarti tanpa kesibukan atau tanpa-urusan. Orang-orang belanda menerjemahkan
nama tersebut ke dalam bahasa mereka menjadi Buitenzorg.
Demikianlah bangunan
sederhana yang didirikan van Imhoff pada lokasi Istana Bogor yang sekarang
diberinya namaBuitenzorg mengikuti mode yang sedang berkembang
di negaranya. Karena suasana di benteng Batavia
yang selalu sibuk, penuh sesak dan kepengangan udara yang berasal dari muara
Ciliwung, para Gubernur Jenderal sangat senang dengan adanya Villa Buitenzorg itu.
Dengan Surat Keputusan
Dewan Direksi VOC di Amsterdam tanggal 07.06.1745, lahan di sekitar Buitenzorg
yang diusulkan van Imhoff dijadikan "eigendom" van Imhoff dan para
Gubernur Jenderal, selanjutnya "in officio". Dengan demikian Tanah
Buitenzorg itu dijadikan semacam Tanah Bengkok yang harus dibeli oleh tiap Gubernur
Jenderal baru kepada pejabat lama yang digantikannya. [Jacob Mossel adalah
pembeli pertama kali dari van Imhoff dengan harga 5500 ringgit. Pembeli
terakhir adalah Daendels dalam tahun 1808 seharga 39000 ringgit. Tetapi dengan
alasan "gajinya tidak cukup" ia secara licik menjualnya kepada
pemerintah yang dikepalainya dengan harga 360000 ringgit.
Batas-batas Tanah
Buitenzorg adalah Puncak Gunung Gede - Puncak - Talaga Warna - Mega Mendung -
Ciliwung - Muara Cihideung - Puncak Gunung Salak - Puncak Gunung Gede.
Dengan tanah seluas itu,
maka tiap Gubernur Jenderal VOC yang resminya hanya Ketua Dewan Hindia dalam
jaringan dagang Kumpeni Belanda di Timur Jauh, langsung menjadi Landvoogd (tuan tanah). Ia boleh menyewakannya,
tetapi tidak boleh menjualnya kecuali kepada pejabat yang menggantikan
kedudukanya.
Van Imhoff adalah
pimpinan VOC pertama yang melaksanakan politik teritorial melalui sistem
pencetakan sawah. Di samping untuk mempertinggi hasil padi, ia juga ingin
mengikat penduduk kepada pemukiman tetap. Lewat keputusan tanggal 10 Agustus
1745, ia menetapkan bahwa sejauh 10 jam perjalanan dari rumah Buitenzorg ke
arah hulu (Ciliwung) tidak boleh ada "gaga atau Tipar". Politik sawah
van Imhoff mulai dilaksanakan di Cisarua.
Lewat kemungkinan
penyewaan Tanah Buitenzorg, maka mulailah lahan antara Ciliwung dengan Cisadane
(pada lokasi bekas Kota Pakuan) dihuni orang. Berkembanglah pula perkebunan
kopi, lada dan tarum.
Dokumen Belanda
menunjukkan bahwa tahun 1752 sudah ada Kampung Bogor di bawah kekuasaan Kepala Kampung Baru.
Jadi penduduk yang tinggal tidak jauh dari rumah Buitenzorg itu tidak termasuk
Rakyat Gubernur Jenderal, melainkan tetap menjadi rakyat Bupati di Kampung
Baru. Tahun 1754 Bupati Kampung Baru mengajukan permohonan kepada Mossel agar
diizinkan menyewa Tanah Sukahati untuk kediamannya. Dokumen tertanggal 29
Desember 1761 nomor 9092 memberitakan, bahwa Bupati Kampung Baru (Natanagara)
sudah berkedudukan di Sukahati. Kemungkinan besar, Demang Wiranata (1749 -
1758) sebagai bupati pertama juga sudah berkedudukan di sana. Sebelumnya, Demang Wiranata (adik
Wiranatu III, Dalem Dicondre) adalah Patih Cianjur. Ia dikenal baik Kumpeni
karena merupakan salah seorang pelopor perkebunan kopi di Jampang.
Dokumen tanggal 18
Januari 1776 memberitakan, bahwa kediaman bupati di Sukahati itu terletak di
sebelah timur Cisadane dekat muara Cipakancilan, berdiri di atas lahan yang
termasuk dalam kawasan Buitenzorg di sebuah lembah dan di depannya terdapat
sebuah empang atau kolam besar ("vijver"). [Bila demikian, sejak
tahun 1770-an (sebelum taun 1775) nama Empang sudah mulai muncul dan
berangsur-angsur mendesak nama Sukahati] Dokumen 28 November tahun 1815 secara
resmi sudah menyebut tempat itu dengan nama Empang. Catatan tahun 1816 melukiskan,
bahwa rumah itu terdiri atas dua bangunan tempat tinggal yang dihubungkan
dengan galeri, terbuat dari kayu bukan jati, berlantai Palupuh (bambu) dan sebuah paseban terbuat
dari kayu serta beratap genting.
Sebuah lukisan rumah di
Sukahati pada masa G.J. Van der Parra (1761 - 1775) menunjukkan, bahwa bila
orang berdiri di bawah jembatan kereta api Pasar "Ramayana" yang
sekarang, maka tatapannya akan tepat berhadapan dengan rumah tersebut. Di luar
pagar alun-alun di depan rumah tersebut ada sebuah kolam besar. Yang penting di
sini, bahwa Rumah Bupati itu didirikan pada tepi bekas alun-alun luar Pakuan.
Dengan kepindahan bupati
dari Tanah Baru ke Sukahati (Empang), kesibukan urusan pemerintahan pun
berpindah. Terbukalah salah satu sumber penghasilan baru bagi Gubernur Jenderal
yang memiliki tanahnya. Pasar (seminggu sekali) segera dibuka dan menjadi
ramai. Dalam tahun 1777 dari penghasilan tambahan Gubernur Jenderal yang
sebanyak 14000 ringgit, ternyata 8000 ringgit berasal dari hasil sewa pasar,
selebihnya dari 4 sumber lain. Pasar ini "tumbuh" dekat kampung Bogor sehingga namanya
pun sampai sekarang masih bertahan dengan sebutan Pasar
Bogor.
Kemajuan pasar
mengundang para pedagang untuk bermukim, termasuk orang-orang Cina. Mula-mula
para pedagang ini menempati lereng Ciliwung di daerah Lebak Pasar. Baru
kemudian berangsur-angsur ada yang merayap naik ke sepanjang Jl. Suryakancana.
Tumbuhnya pasar pada lokasi itu mudah di mengerti karena semua hasil bumi
(tanaman) wajib diangkut ke "gudang" pada lokasi jajaran Toko Hindia.
Dari situ, para petani yang baru saja menerima uang singgah di pasar.
Untuk mendekati lokasi
pasar ini, Kaum Paledang (pandai tembaga) mendirikan pemukiman
pada lokasi Kebun Palem dekat lokasi Kantor Pos yang sekarang. Kampung ini
kemudian dipindahkan ke Kampung Paledang yang sekarang (di seberang Kantor Pos)
sewaktu lokasi asal dimasukkan ke dalam bagian Kebun Raya Bogor. Embah Jepra adalah pemimpin kaum
paledang tersebut (makamnya ada di dalam Kebun Raya Bogor).
Bila kita perhatikan,
kampung-kampung atau pemukiman awal yang menjadi inti pertumbuhan Kota Bogor,
yaitu Lawang Gintung (yang pertama), Lebak Pasar, Baranangsiang (dekat Pulo
Geulis), Bogor, Gudang dan Sukahati (sekarang Empang), semuanya terletak pada
lahan yang "menempel" pada tepi bagian luar bekas benteng Pakuan.
Tempat-tempat itu tumbuh laksana Sirung (tunas pohon) di sekitar tunggul pohon
induknya. Pertumbuhan Kota Bogor itu seolah-olah "berakar" pada
sisa-sisa benteng Pakuan. Selain itu, para penghuni Kota Bogor masa itu mampu
pula menghasilkan "karya besar" seperti penghuni Pakuan di masa
silam. Karya yang dimaksud adalah Membelah Aliran Cisadane pada tahun 1775.
Sebagian air yang mengalir di Cisadane, dialirkan ke Cipakancilan.
Kemudian muara
Cipakancilan (pada tepi Cisadane) dibendung dan disalurkan lewat kanal baru
(sungai buatan). Dengan pengalihan alur Cipakancilan ini, maka terbentuklah
Empang Pulo yang dikelilingi air dari tiga penjuru beserta bekas alur
Cipakancilan pada sisi yang ke empat. Alur Cipakancilan sendiri dipecah dua
lagi dengan kanal Cidepit yang alirannya diarahkan ke Ciliwung. Pada hari
Selasa tanggal 6 Agustus 1776, untuk pertama kalinya air Cisadane dapat bertemu
dengan aliran Ciliwung].
Untuk memahami karya
besar ini, silahkan berjalan sepanjang Jalan Paledang antara Tanjakkan Pala
dengan Jembatan Merah. Saluran buatan itu sangat lebar dan dalam. Itupun baru
sepenggal dari karya besar mereka yang dikerjakkan selama satu setengah tahun
di bawah pimpinan Aria Natanagara (1761 - 1787). Yang penting di sini bahwa
karya besar itu tidak dikendalikan dari rumah peristirahatan Buitenzorg,
melainkan dari rumah bupati di Empang.
WARISAN NILAI BUDAYA
Di bagian awal telah
diungkapkan, bahwa Pakuan mencapai puncak perkembangannya dalam masa
pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang oleh masyarakat Jawa Barat dikenal dengan
nama Prabu Siliwangi. Sejalan dengan itu penduduk Pakuan pun mencapai jumlah
nomor dua terbesar di antara kota-kota di Nusantara waktu itu. Masa inilah yang
disebut Gemuh Pakuan dalam beberapa naskah tradisional karena di daerah-daerah
pun banyak kerabat atau yang terikat kekerabatan dengan Siliwangi menjadi
pemegang kekuasaan dan mengembangkan kesejahteraan hidup di kawasannya.
Jaman dahulu, ketika
segala hal masih harus dikerjakan dengan tenaga manusia, jumlah penduduk
menjadi ciri kemajuan dan kemakmuran negara. Bagi negara agraris jaman dulu,
penyerangan dan penaklukan negara tetangga lebih ditujukan kepada upaya
menambah jumlah penduduk dari pada perluasan tanah. Oleh sebab itulah, negara
agraris dalam jaman silam selalu mengidap watak agresif yang tersebunyi dan
akan meledak setiap kali ada kesempatan.
Negara yang banyak
penduduknya disebut negara yang Gemah Ripah. Gemah atau Gemuh berarti banyak
penduduknya (Volkrijk, menurut Coolsma). Sedangkan Ripah atau Rimpah sama
artinya dengan kata Indonesia Limpah (meluap). Jadi Gemah-ripah mengandung arti
sangat banyak penduduk seolah-olah melimpah. namun entah mengapa, timbul salah
kaprah mengenai artinya yang pada saat ini banyak dipahami sebagai subur
makmur. Akibat pengaruh Hindu, kata Gemah-ripah sering disambung dengan Loh
Jinawi. Loh atau lwah berarti sungai, dan Jinawi adalah nama lain untuk Sungai
Gangga di India. Jadi arti utuh dari Gemah-Ripah Loh Jinawi adalah padat
(banyak sekali penduduknya seperti daerah Sungai Gangga. Keadaan seperti ini,
memang yang didambakan negara-negara agraris jaman dahulu.
Masa Gemah Pakuan
disertai oleh kemajuan dalam berbagai segi kehidupan. sesuai dengan jamannya,
apa yang kita sebut maju waktu itu mungkin hanya keadaan "sederhana"
menurut ukuran hidup jama sekarang ini. Meskipun demikian ada hal yang sifatnya
bisa "abadi" jika dilihat dari segi isi dan maknanya, yaitu "Nilai Budaya".
Dari jaman Siliwangi,
kita diwarisi sebuah naskah kuno yang disebut Siskandang Karesian Dan Kundangeun Urang Reya(untuk
pegangan hidup orang banyak). Naskah ini tersiri atas 30 lembar dan pada akhir
naskah dicantumkan tahun penulisannya, yaitu Nora Catur Sagara
Wulan (tahun 1440
(Saka) atau 1518 M. Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode
KROPAK 630.
Sebagian isi dari naskah
itu, ada baiknya juga kita ketahui sebagai berikut:
1. Dasakerta
(kesejahteraan yang sepuluh)
2. Tapa di Nagara
3. Panca parisuda
4. Hidup yang penuh
berkah
5. Parigeuing dan dasa
pasanta
6. Tritangtu di bumi
(tiga posisi di dunia)
1. Dasakerta
(kesejahteraan yang sepuluh)
Kesejahteraan hidup
dapat kita capai bila kita mampu memelihara kegunaan 10 bagian tubuh, yaitu
telinga, mata, kulit, lidah, hidung, mulut tangan, kaki, tumbung (dubur) dan
alat kelamin (baga atau purusa). Dituturkan umpamnya (artinya saja)
"Telinga jangan
mendengarkan hal-hal yang tidak layak didengar karena
menjadi pintu bencana
penyebab kita menemukan kesengsaraan di dasar
kenistaan neraka, tetapi
bila (telinga) digunakan untuk hal-hal yang
baik, kita akan
memperoleh keutamaan dari pendengarannya"
Dukun bayi jaman dulu
selalu membisikkan ajaran ini pada telinga kiri si bayi setelah bayi itu
dimandikan. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang pertama-tama diperkenalkan
kepada manusia adalah ajaran moral tentang hidup bersusila.
2. Tapa di Nagara
Naskah itu menyebut
sebagai contoh 29 macam pekerjaan yang bermanfaat bagi umum, seperti menteri,
bayangkara, pandai besi, prajurit, petani, anak gembala, dalang dan lain-lain.
Lalu dijelaskan "Eta kehna turutaneun, kena eta ngawakan tapa di
nagara" (semua itu patut ditiru karena mereka itu melakuan tapa dalam
negara) Jadi yang dimaksud dengan tapa ini adalah melaksanakan pekerjaan yang
berguna untuk kepentingan umum. Oleh sebab itu penulis Carita Parahiyangan
mencela sikap Ratu Dewata karena ia melakukan cara tapa yang tidak sesuai
dengan tugasnya sebagai raja dalam keadaan negara terancam musuh.
3. Panca parisuda
Panca parisuda
mengandung arti Lima Obat Penawar. Ini kaitannya dengan
sikap menerima Celaan atau Kritik. "lamun aya nu meda urang, aku sapameda
sakalih" (bila ada yang mengkritik kepada kita, terimalah kritik orang
lain itu) Anggaplah:
- ibarat kita sedang
dekil menemukan air untuk mandi
- ibarat kita sedang
burik ada orang yang meminyaki
- ibarat kita sedang
lapar ada orang yang memberi nasi
- ibarat kita sedang
dahaga ada orang yang mengantarkan minuman
- ibarat kita sedang
kesal datang orang yang membawakan sirih-pinang (sepaheun)
Dengan sikap seperti itu
dikatakannya
"kadyangga ning
galah cedek tinugalan teka"
(sama halnya dengan
galah sodok dipapas runcing)
[Galah cedek (bambu
runcing) makin pendek makin baik karena
kemungkinan patah makin
berkurang. Dengan kritik akal budi
kita akan menjadi makin
kukuh dan tajam]
"lamun makasuka
urang kangken pare beurat sangga"
(kalau senang menerima
kritik orang, kita akan seperti padi yang runduk karena berat
berisi)
4. Hidup yang penuh
berkah
Pelengkap hidup agar
selamat dalam kehidupan dan mendapat berkah dalam rumah tangga harus
- cermat (emet)
- teliti (imeut)
- rajin (rajeun)
- tekun (leukeun)
- cukup sandang (paka
predana)
- bersemangat
(morogol-rogol)
- berpribadi pahlawan
(purusa ningsa)
- bijaksana (widagda)
- berani berkurban
(hapitan)
- dermawan (waleya)
- gesit (cangcingan)
- cekatan (langsitan)
Prinsip hidupnya adalah
Tidak menyusahkan orang lain, hidup berkecukupan, tetapi tidak berlebihan.
"Jaga rang hees
tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba
ponyo, ulah urang
kajongjonan"
(Hendaknya kita ingat,
bahwa tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar pelepas haus, makan
sekedar penghilang lapar, jangan kita berlebihan)
5. Parigeuing dan dasa
pasanta
Hidup yang cukup itu
harus disertai tiga kemampuan (tri"geuing), yaitu
Geuing, Upageuing dan
Parigeuing.
Geuing adalah "bisa
ngicap ngicup dina kasukaan"
(bisa makan dan minum
dalam kesenangan)
Upageuing aadalah
"bisa nyandang bisa nganggo, bisa babasahan bisa dibusana"
(bisa berpakaian, bisa
punya cadangan pakaian bila yang lain dicuci, bisa berdandan)
Parigeuing adalah
"bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawanginya mana hanteu surah nu
dipiwarang"
(bisa memberi perintah,
bisa menyuruh karena tutur bahasa yang manis sehingga orang yang disuruh tidak
merasa jengkel hatinya)
Parigeuing memerlukan
dasa pasanta (10 cara penenang), yaitu
- bijaksana (guna)
- ramah (rama)
- sayang (hook)
- memikat (pesok)
- kasih (asih)
- iba hati (karunya)
- membujuk (mupreruk)
- memuji (ngulas)
- membesarkan hati (nyecep)
- mengambil hati (ngala angen)
Tujuan dari hal di atas
adalah
"nya mana suka
bungah padang-caang nu dipiwarang"
(agar senang dan penuh
kegairahan orang yang di suruh)
Betapapun harus kita
akui, bahwa seseorang menjalankan perintah dengan penuh rasa senang dan gairah,
prestasinya akan maksimal. Yang penting terutama adalah janganlah kita
mengabaikan harga diri seseorang.
6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)
Dalam kehidupan
masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tongak
kehidupan, yaitu
- RAMA (pendiri kampung
yang menjadi pemimpin masyarakat dan keturunannya yang mewarisi jabatan itu),
- RESI (Ulama atau
pendeta)
- PRABU (raja, pemegang
kekuasaan)
Dalam naskah dianjurkan
agar orang berusaha memiliki:
- bayu pinaka prabu
(wibawa seorang raja)
- sabda pinaka rama
(ucapan seorang rama)
- hedap pinaka resi
(tekad seorang resi)
Tugas ketiga tokoh itu
dalam kropak 632 ditegaskan
"jagat daranan di
sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu"
(urusan bimbingan rakyat
menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup
menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerintahan menjadi
tanggung jawab raja/ pemegang kekuasaan).
Ketiga pemegang posisi
itu sederajat karena "pada pawitannya, pada muliyana" (sama
asal-usulnya, sama mulianya). Oleh karena itu diantara ketiganya
"haywa paala-ala
palungguhan, haywa paala-ala pameunang,
haywa paala-ala demakan.
Maka pada mulia ku ulah,
ku sabda ku hedap si
niti,
si nityagata, si aum, si
heueuh, si karungrungan,
ngalap kaswar, semu
guyu,
tejah ambek guru basa
dina urang sakabeh,
tuha kalawan anwam"
(jangan berebut
kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka berbuat
mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang
masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka
mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang,
tua maupun muda).
Tritangtu sebagai sistem
kepemimpinan itu masih dilaksanakan di Kanekes. Orang Baduy menyebutnya Tangtu
Telu (tritangtu). Ketiga orang Puun di Kanekes masing-masing menempati posisi
Resi (Puun Cikertawana), Rama (Puun Cikeusik) dan Ponggawa (Puun Cibeo). Dalam
kehidupan sehari-hari ketiga Puun itu berkuada penuh di daerah masing-masing.
Tetapi dalam hal umum menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu telu
itu berlaku.
Pada dasarnya ketiga
posisi itu terdapat pula dalam masyarakat kita sekarang, yaitu Pemuka
Masyarakat, Ulama dan Pemerintah. Apa yang diharapkan dari trio itu pada jaman
Siliwangi, rasanya masih diharapkan juga dewasa ini. Tradisi tidak selamanya
"usang". Anggap sajalah semua itu "wangsit Siliwangi"
karena memang ditulus sebagai "perudang-undangan" pada jamannya.
Bagian akhir naskah
Siskandang Karesian berisi anjuran agar orang tua tidak mengawinkan
anak-anaknya yang masih di bawah umur "hanteu yogya mijodohkeun bocah,
bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu ngajadikeun" (Tidak layak
mengawinkan anak kecil, agar tidak terbawa salah, agar tidak merepotkan yang
menjodohkan).
Bila kita perhatikan
ajaran moral dalam jaman Siliwangi melalui naskah tersebut, mengertilah kita
mengapa sikap Ratu Dewata, Ratu Sakti dan Nilakendra sangat dicela oelh penulis
Carita Parahiyangan "Aja tinut de sang karuwi polah sang nata"
(jangan ditiru oleh yang kemudian kelakuan raja ini). Itulah beberapa warisan
nilai budaya dari jaman Siliwangi yang sekarang pun tampaknya masih bisa
dimanfaatkan sebagai Seuweu-Siwi Siliwangi.
Catetan : Drs.Asep
Idjuddin (Pimpinan Umum Majalah Sunda SALAKA ONLINE –www.salaka.net.
REFERENSI :
Ayatrohaedi, 2005 Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia
Wangsakerta” CirebonJakarta.: Pustaka Jaya.
Saleh Danasasmita, 2003, Nyukcruk
sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwang, Bandung.: Kiblat Buku Utama.
Yoseph Iskandar, 1997, Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa.
Bandung: Geger
Sunten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar