Online


Get this .

Animasi

Home

Jumat, 03 Oktober 2014

PAJAJARAN


ASAL MULA NAMA PAKUAN DAN PAJAJARAN

Hampir secara umum penduduk Bogor mempunyai keyakinan bahwa Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan Kota Pakuan, ibukota Pajajaran. Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penulusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu:
  1. Carita (Cerita): Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berhasa Sunda kuno ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banak terdapat pohon Pakujajar. 
  2. K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul "De Batoe Toelis te Buitenzorg" (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku (beserta sungai yang memeiliki nama yang sama). Di sana banyak ditemukan pohon Paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan Pohon Paku.Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen"). 
  3. G.P. Rouffaer (1919) dalam "Encyclopedie van Niederlandsch Indie" edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian "Paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" ("spijker der wereld") yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" ("evenknie"). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433. 
  4. R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan "De Batoe-Toelis bij Buitenzorg" (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istaa. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar ("aanrijen staande hoven"). 
  5. H. ten Dam (1957). Sebagai Insinyur Pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisan "Verkenningen Rondom Padjadjaran" (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam "carita Parahyangan" disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota ("hoffstad") yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara Sungai Besar dengan Sungai Tanggerang (disebut juga Ciliwung dan Cisadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Demikianlah tafsiran nama Pakuan Pajajaran menurut lima sumber. Nama resmi yang pernah digunakan dalam sumber sejarah ada tiga, yaitu:
1.       Pakuan Pajajaran (lengkap)
2.       Pakuan (tanpa Pajajaran)
3.       Pajajaran (tanpa Pakuan)

Ketiga sebutan itu dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2), sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kabantenan di Bekasi.
Lantas, apa arti kata itu menurut orang Pajajaran sendiri?
Dalam naskah "Carita Parahiyangan" ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dst. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam "Carita Parahiyangan", yaitu "istana yang berjajar" Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri.
Diperkirakan ada 5 bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada" (lima keeraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.

Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara. Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, contohnya meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.

Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata "dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibukota kerajaan.

LOKASI PAKUAN 
1.     Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris.
Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai lokasi "bekas istana" Kerajaan Pajajaran, VOC mengirimkan tiga tim ekspedisi yang masing-masing dipimpin oleh
1. Scipio (1687)
2. Adolf Winkler (1690)
3. Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)

1.1.     Laporan Scipio
Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah
§    Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Catatannya adalah sbb.: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".
§     Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis".
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, "dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort" (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" (maksudnya "Sunda") Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan khayalan adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.

1.2.     Laporan Adolf Winkler (1690) 
Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur.
Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut:
  • Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut "twee lanen". Hal ini tidak bertentangan. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu. 
  • Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai. 
  • Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada jaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan". Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti "tanam, tanaman atau kebun". Tajur Agung sama artinya dengan "Kebon Gede atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya. 
  • Dari Tajur Agung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo", sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon Gintung. 
  • Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan ("het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben"). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan 7 batang pohon beringin. 
  • Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca ("Purwa Galih"), maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung). Balen Kambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh Bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali. Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jl. Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasast (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.
  • Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 81/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasan tanda penutup). Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak ‘bubar/hancur’ oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri (masih tetap pada posisi semula). 
  • Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat 3 buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam "Babad Pajajaran" yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dala bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "Pohon Campaka Warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.
1.3.     Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) 
Abraham adalah putera Joan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.
Rute perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondok Cina - Depok - Pondok Pucug (Citayam) - Bojong Manggis (dekat Bojong Gede) - Kedung Halang - Parung Angsana (Tanah Baru).

Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanah Abang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondok Cina dan seterusnya sama dengan rute 1703.
Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanah Abang - Karet - Serengseng - Pondok Pucung - Bojong Manggis - Pager Wesi - Kedung Badak - Panaragan.
Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang "de toegang" (jalan masuk) atau "de opgang" (jalan naik) ke Pakuan.

Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:
  • Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan). 
  • Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada jaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki. 
  • Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota. 
  • Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.
Pada kunjungan tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.

2.     Berita Dari Naskah Tua
Dalam kropak (Tulisan pada rontal atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama "Carita Parahiyangan". Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. "Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
(Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai (dibangun) lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).

Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Cipakancilan". Hulu Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung Lawang Gintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernam Cipakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menterjemahkannya menjadi Cipeucang. Dalam bahasa Sunda kuno dan Jawa kuno kata "kancil" memang berarti "peucang".

3.     Hasil Penelitian
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada 4 orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.
Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisan "Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg" (Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor), Pleyte menjelaskan "Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten"
(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih dipercayai menunjuk kampung Batutulis yang sekarang sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran, masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat)

Sedikit kotradiksi dari Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jl. Siliwangi dengan Jl. Batutulis.

Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang oleh data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ciliwung dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasih, "leuwi" (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi oleh puteri-puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu.

Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".

Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pad sebuah "hoff" (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan 7 batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama.

Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.

Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop "Rangga Gading". Setelah menyilang Jl. Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jl. Suryakencana dengan Jl. Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng. Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung. Deretan kios dekat simpangan Jl. Siliwangi - Jl. Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyiang Jl. Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jl. Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung. Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Cipakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cincaw.


PAKUAN IBUKOTA KERAJAAN SUNDA  

Tome Pires (1513) menyebutkan bahwa dayo (dayeuh) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Ciliwung. Sunda sebagai nama kerajaan tercata dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Prasasti yang di Bogor banyak berhubungan dengan Kerajaan Sunda pecahan Tarumanagara, sedangkan yang di daerah Sukabumi berhubungan dengan Kerajaan Sunda sampai masa Sri Jayabupati.

1.     Kerajaan Sunda Pecahan Tarumanagara
Di Bogor, prasasti itu ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan "ini sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsan desa barpulihkan haji sunda"
Terjemahannya menurut Bosch:
"Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda".

Karna angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Beberapa ratus meter dari tempat prasasti itu, ditemukan pula dua prasasti lainnya peninggalan Maharaja Purnawarman yang berhuruf Palawa dan berbahasa Sangsekerta. Dalam literatur, kedua prasasti itu disebut Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Kebon Kopi (daerah bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig). Prasasti Ciaruteun semula terletak pada aliran (sungai) Ciaruteun (100 meter) dari pertemuan sungai tersebut dengan Cisadane. Tahun 1981 prasasti itu diangkat dan diletakkan dalam cungkup. Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, berbunyi:
"vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam"
Terjemahannya menurut Vogel:
"Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara".
Prasasti Ciaruteun bergambar sepasang "pandatala" (jejak kaki). Gambar jejak telapak kaki menunjukkan tanda kekuasaan yang berfungsi mirip "tanda tangan" seperti jaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut "Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara" parwa II sarga 3, halaman 161, diantara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman (395-434 M) terdapat nama "Rajamandala" (Raja daerah) Pasir Muhara. Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahul termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang. Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
"jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam"
(Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa)

Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra, bahkan diberitakan juga bahwa bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah. Ukiran bendera dan sepasang lebah ini dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan diantara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan Pustaka dari Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.

Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:

"shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam"

Terjemahannya menurut Vogel:
"Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya".
Kerajaan Taruma didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman dalam tahun 358 M. Ia wafat tahun 382 dan dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi). Ia digantikan oleh puteranya, Dharmayawarman (382 - 395 M) yang setelah wafat dipusarakan di tepi kali Candrabaga. Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395 - 434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya "Sundapura".

Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "Kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan pleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515 - 535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Rakryan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang Pejabat Tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?

Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya. Baik sumber-sumber prasati maupun sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisinal Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.

Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tampat lain [contoh yang sama dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak) yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri adalah seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.

Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. [Dalam tahun 526 M, Manikmaya (menanu Suryawarman) telah mendirikan kerajaan baru di Kendan (daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan ). Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di Ibukota Taruma dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M].

Tarumanagara hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Dalam tahun 669, Linggawarman (Raja Tarumanagara terakhir) digantikan oleh menantunya. Linggawarman mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada jamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di Purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun (pendiri Kerajaan Galuh) untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Karena Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas. Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat Hulu Cipakancilan (seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya). [Dalam cerita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bagal Raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M. Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan.

Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Ia bernama Rakeyan Jamri (Cicit Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh). Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya. Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana yang bernama Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran (putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi sambara).

2.     Kerajaan Sunda Sampai Masa Sri Jayabupati
Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):
D 73 : //O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa- ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma- haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka- labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra- mottunggadewa, ma- D 96 : gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila.irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken prasasti pagepageh. Mangmang sapatha. D 97 : sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.

Terjemahannya

Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan
(ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah. Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya demikian.
Batu prasasti keempat (D 98) berisi sumpah atau kutukan Sri Jayabupati sebanyak 20 baris yang intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan di surga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup denga kalimat seruan, "I wruhhanta kamung hyang kabeh" (Ketahuilah olehmu para hiyang semuanya).

Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah it. Namun dugaannya tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian sungai (Cicatih) yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak Ibukota Tarumanagara.

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prebu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.

Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adala pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Cina yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka (kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M).

Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M) Raja Galuh ketiga. Tokoh ini adalah tokoh Sanna ayah Sanjaya dalam Prasasti Canggal (732 M). Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbarosa dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari puteranya yang sulung bernama Batara Danghyang Guru Sempakwaja pendiri kerajaan Galunggung, sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari puteranya yang bungsu bernama Mandiminyak raja Galuh kedua (702 - 709 M).

Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena 'ompong' (seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani). Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Akan tetapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas Tahta Galuh. Lagi pula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut Tahta Galuh dari Sena. Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, raja Indraprahasta (di daerah Cirebon) Purbasora melancarkan perebutan Tahta Galuh. Sena melarikan diri ke Kalingga (istri Sena, Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga).
Sanjaya (anak Sena) berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (sahabat Sena). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama istrinya. Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah Patih Galuh (menantu Purbasora) bersama segelintir pasukan. Ia bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan.
Balangantrang adalah juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul. Tokoh inipun tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita "Kemir" (Hernia). Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam ia menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprhasta setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Sanjaya mendapat pesan dari ayahnya (Sena), bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi Sempakwaja (uanya= kakak ayahnya) di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan(adik Purbasora) direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan. Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang (putera Resi Jantaka) karena ia tak mengetahui keberadaannya.

Akhirnya Sanjaya termpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia menganngkat Premana Dikusuma (cucu Purbasora). Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat sajalajala. Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, istrinya Naganingrum adalah cucu Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka (putera pertama dan kedua Wretikandayun).

Pasangan Premana dan Naganingrum memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak dikemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang (buyut dari ibu) yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.
Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangreyep (puteri Anggada, Patih Sunda). Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya (Tamperan) sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di Ibukota Galuh.

Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya. Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh Kakeknya.
Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya (Pangreyep). Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya.

Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak (Senang membuat skandal). Tamperan dan Pangreyep (Istri Premana) terlibat skandal dan hasilnya adalah kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M). Skandal ini terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangreyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi. [untuk menhapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.

Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya (Tamperan) dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan (putera bungsu Sempakwaja).
Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah (Ciung Wanara) secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya Ki Balangantrang di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.

Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton. Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika sanjaya berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangreyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam.

Bangga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangreyep dari tahanan. Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangreyep.
Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Medang yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta (ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri) dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.

Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Rajaresi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah. Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya berjodoh dengan Kancanasari adik Kancanawangi.

Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy (Bayongbong, Garut) yang ditulis dalam abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun Parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 - 766). Manarah di Galuh memerintah sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan "Manurajasuniya" (mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat) dan baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.
[Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan, tidak saja dalam hal usia (Banga dianggap lebih tua), tetapi juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah Raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis dalam pertengahan abad 18. Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit, padahal Majapahit baru didirikan oleh Wijaya dalam tahun 1293 (527 tahun setelah Banga wafat). Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah pertemuan Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad].

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabu Linggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891) cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan diantara para kerabat keraton: Sunda; Galuh dan Kuningan (Saunggalah).
Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri Darmawangsa (adik Dewi Laksmi isteri Airlangga). Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya (Darmawangsa). Gelar itulah yang dicantumkannya dalam Prasasti Cibadak.

Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Darmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya (Darmawangsa). Pada puncak krisis ia hanya menjadi 'penonton' dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus 'menyaksikan' Darmawangsa diserang dan dibinasakan oleh raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya 'diancam' agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam prasasti Calcuta (disimpan di sana) disebut Pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Di bawah ini adalah urutan Raja-raja Sunda sampai Sri Jaya Bupati yang berjumlah 20 orang:

1. Maharaja Tarusbawa 669 - 723 M
2. Sanjaya Harisdarma (cucu-menantu no. 1) 723 - 732 M
3. Tamperan Barmawijaya 732 - 739 M
4. Rakeyan Banga 739 - 766 M
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766 - 783 M
6. Prabu Gilingwesi (menantu no. 5) 783 - 795 M
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu no. 6) 795 - 819 M
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819 - 891 M
9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8) 891 - 895 M
10. Windusakti Prabu Dewageng 895 - 913 M
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi 913 - 916 M
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (menantu no. 11) 916 - 942 M
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa 942 - 954 M
14. Limbur Kancana (putera no. 11) 954 - 964 M
15. Prabu Munding Ganawirya 964 - 973 M
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung 973 - 989 M
17. Prabu Brajawisesa 989 - 1012 M
18. Prabu Dewa Sanghyang 1012 - 1019 M
19. Prabu Sanghyang Ageng 1019 - 1030 M
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati 1030 - 1042 M
Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4) - Darmeswara (no. 7) yang hanyaberkuasa di kawasan sebelat barat Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.


JAMAN PAJAJARAN (1482 - 1579)  

A. Kawali Ibukota Baru
1. Pusat Pemerintahan berpindah-pindah
Bila rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tumbuh secara bersangsur-angsur, ini mudah dipahami karena banyaknya kelompok etnik yang menjadi penduduk Indonesia. Rasa kesatuan etnik Sunda di Jawa Barat pun tidak tumbuh serempak, melainkan berangsur-angsur.
Telah dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852 Tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana. Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 - 895) dibunuh oleh seorang menteri Sunda yang fanatik.
Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.

Ayah Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan, tetapi puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di Galuh dan raja ke-25, yaitu Prabu Guru Darmasiksa mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya (Prabu Ragasuci) berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.

Proses kepindahan seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan kita), namun pengaruh positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik di Jawa Barat. Antara Galuh dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam hal tradisi. Anwas Adiwijaya (1975) mengungkapkan bahwa orang Galuh itu "orang air", sedang orang Sunda "Orang Gunung". Yang satu memiliki "mitos buaya", yang lain "mitos harimau".Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang bernama panereban. Tempat yang bernama demikian pada masa silam merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh, mayat harus "dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang Kanekes yang masih menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda, mengubur mayat dalam tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan tradisi "ngurebkeun" di sebelah barat (membekas dalam istilah Panereban dan Pasarean).

Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini menjadi satu "Orang Air" dengan "Orang Gunung" itu menjadi akrab dan berbaur seperti dilambangkan oleh dongen "Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet" (kura-kura dan monyet). Dongeng yang khas Sunda ini sangat mendalam dan meluas dalam segala lapisan msyarakat, padahal mereka tahu, bahwa dalam kenyataan sehari-hari Monyet dan Kuya (kura-kura) itu bertemu saja mugkin tidak pernah (di Kebun Binatang pun tidak pernah diperkenalkan).

Dalam abad ke-14 sebutan Sunda itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat, baik dalam pengertian Wilayah maupun dalam pengertian Etnik. Menurut Pustaka Paratwan I Bhumi Jawadwipa, parwa I sarga 1, nama Sunda mulai digunakan oleh Purnawarman untuk Ibukota Tarumanagara yang baru didirikannya (Sundapura). Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya karena Sundapura mengandung arti Kota Suci atau Kota Murni, sedangkan Galuh berarti Permata atau Batu Mulia (secar kiasan berarti gadis)].

2. Peran bergeser ke timur 
Dalam abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu Kawali (arti Kuali atau Belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Sebenarnya gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa pemerintahan Prabu Ragasuci (1297 - 1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Darmasiksa), ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya Prabu Citraganda, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.

Ragasuci sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya Rakeyan Jayadarma. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mereka berputera Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya (lahir di Pakuan). Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian menjadi Raja Majapahit yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur.
Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci sebagai calon ahli warisnya yang bernama Citraganda. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa (Puteri Kerajaan Melayu) adik Dara Kencana isteri Kertanegara. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama 6 tahun di Pakuan (ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah). Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.

Prabu Lingga Dewata (putera Citraganda) mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti, menantunya Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340) sudah berkedudukan di Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa tahun 1333 - 1482 adalah Jaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal 5 orang raja.
Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di "Astana Gede" Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).

Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di medan Bubat dalam tahun 1357. Ketika terjadi Pasundan Bubat usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda Lalean, dalam Babad Panjalu disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.

Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir Sang Haliwungan (setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Usuktunggal). Permaisuri yang kedua adalah Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinan ini lahir Ningrat Kancana (setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala).

Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana. (Jayadewata, putera Dewa Niskala), mula-mula memperistri Ambetkasih (puteri Ki Gedeng Sindangkasih), kemudian memperistri Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura). (Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid Syekh Hasanudin yang menganut Mahzab Hanafi. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama 2 tahun. Ia adalah nenek Syarif Hidayatullah) Kemudian Jayadewata mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan.

3. Ibukota kembali ke Pakuan
Kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang istrinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan. Dalam Carita Parahiyangan disebutkan "estri larangan ti kaluaran". Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut "perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan.

Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.

1.       RAJA-RAJA PAJAJARAN
1. Sri Baduga Maharaja
Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya (Susuktunggal). Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: "Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira" (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).

Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi. {Tentang hal ini, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja): "Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda"}

Kesenjangan antara pendapat sebagian orang dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta (penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara) menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, menurut naskah Wastu kancana disebut juga Prabu Wangsisutah). pendapat sebagian orang yang keliru tersebut umumnya tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat?. Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasan Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).

Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana].
Proses kepindahan isteri Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh pujangga bernama Kai Raga di Gunung Srimanganti (Sikuray). Naskahnya ditulis dalam gaya pantun dan dinamai Carita Ratu Pakuan (diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18).

Naskah itu dapat ditemukan pada Kropak 410. Isinya adalah sebagai berikut (hanya terjemahannya saja):

Tersebutlah Ngabetkasih bersama madu-madunya
bergerak payung lebesaran melintas tugu
yang seia dan sekata
hendak pulang ke Pakuan
kembali dari keraton di timur
halaman cahaya putih induk permata
cahaya datar namanya
keraton berseri emas permata
rumah berukir lukisan alun
di Sanghiyang Pandan-larang
keraton penenang hidup.

Bergerak barisan depan disusul yang kemudian
teduh dalam ikatan dijunjung
bakul kue dengan tutup yang diukir
kotak jati bersudut bulatan emas
tempat sirih nampan perak
bertiang gading ukiran telapak gajah
hendak dibawa ke Pakuan

Bergerak tandu kencana
beratap cemara gading
bertiang emas
bernama lingkaran langit
berpuncak permata indah
ditatahkan pada watang yang bercungap

Singa-singaan di sebelah kiri-kanan
payung hijau bertiang gading
berpuncak getas yang bertiang
berpuncak emas
dan payung saberilen
berumbai potongan benang
tapok terongnya emas berlekuk
berayun panjang langkahnya
terkedip sambil menoleh
ibarat semut, rukun dengan saudaranya
tingkahnya seperti semut beralih
Bergerak seperti pematang cahaya melayang-layang
berlenggang di awang-awang
pembawa gendi di belakang
pembawa kandaga di depan
dan ayam-ayaman emas kiri-kanan
kidang-kidangan emas di tengah
siapa diusun di singa barong

Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian
barisan yang lain lagi

[yang dikisahkan dalam pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri Sri BAduga yang pertama (puteri Ki Gedng Sindang Kasih, putera Wastu Kancana ketiga dari Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan bersama isteri-isteri Sri Baduga yang lain].Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peniggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegus mengamalkan peraturan dewa.

Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma". [Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka= 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan ke- mudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu di gotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipaka untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.

Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi)]
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memangfaatkan trasisi pajak tenaga ini.

Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakongawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat. Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut Karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga Desa Perdikan (desa bebas pajak).
Untuk mengetahui lebih lanjut kejadian di masa pemerintahan Sri Baduga, marilah kita telusuri sumber sejarah sebagai berikut:

a.Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian: "Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa" (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama)
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama. Mereka disebut "loba" (serakah) karena merasa tidak puas dengan agama yang ada, lalu mencari yang baru.

b. Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I serga 2
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]. Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.

Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].

Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi tempur). Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah JUNG dari 150 ton dan beberala Lankaras untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada 4 pasangan yang dijodohkan, yaitu

1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi)
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa)

[Perkawinan Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir) dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala (Panglima angkatan laut) Kerajaan Demak, ia untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso D'albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja merebut Pelabuhan Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.

Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan Sektor-Sektor Pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya (Subanglarang) adalah muslimah dan ketiga anaknya (Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang dan Raja Sangara) diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).

Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing-masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut Secara Anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya (di sinilah nilai khusus Rancamaya). Rancamaya terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno dengan pelataran berjari-jari 7.5 m tertutup hamparan rumput halus dan dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat Pohon Hampelas Badak setinggi kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin.

Dewasa ini seluruh situs sudah "dihancurkan" orang. Pelatarannya ditanami ubi kayu, pohon-pohonannya ditebang dan makam kuno itu diberi saung. Di dalamnya sudah bertambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah dipopulerkan orang sebagai Makam Wali. Kejadian ini sama seperti kuburan Embah Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya yang "dijual" orang sebagai "makam Raja Galuh".

Telaga yang ada di Rancamaya, menurut Pantun Bogor, asalnya bernama Rena Wijaya dan kemudian berubah menjadi Rancamaya. Akan tetapi, menurut naskah kuno, penamaannya malah dibalik, setelah menjadi telaga kemudian dinamai Rena Maha Wijaya (terungkap pada prasasti). "Talaga" (Sangsakerta "tadaga") mengandung arti kolam. Orang Sunda biasanya menyebut telaga untuk kolam bening di pegunungan atau tempat yang sunyi. Kata lain yang sepadan adalah situ (Sangsakerta, setu) yang berarti bendungan.
Bila diteliti keadaan sawah di Rancamaya, dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan dengan Kampung Bojong. Pada sisi utara lapang bola Rancamaya yang sekarang, tepi telaga itu bersambung dengan kaki bukit.

Bukit Badigul memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang unik. Bukit itu hampir "gersang" dengan bentuk parabola sempurna dan tampak seperti "katel" (wajan) terbalik. Bukit-bukit disekitarnya tampak subur. Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu "dikerok" sampai mencapai bentuk parabola. Akibat pengerokan itu tanah suburnya habis.
Bagidul kemungkinan waktu itu dijadikan "bukit punden" (bukit pemujaan) yaitu bukit tempat berziarah (bahasa Sunda, nyekar atau ngembang=tabur bunga). Kemungkinan yang dimaksud dalam "rajah Waruga Pakuan" dengan Sanghiyang Padungkulan itu adalah Bukit Badigul ini.
Kedekatan telaga dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja beserta para pembesar Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci di Gangganadi (Setu Gangga) yang terletak dalam istana Kerajaan Indraprahasta (di Cirebon Girang). Setelah bermandi- mandi suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai.
Spekulasi lain mengenai pengertian adanya kombinasi Badigul-Rancamaya adalah perpaduan gunung-air yang berarti pula Sunda-Galuh.

2. Surawisesa (1521 - 1535)
 Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan
hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan. [Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan, akan tetapi sumber portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield" (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522.

Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal).

Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan Trenggana (Sultan Demak III). Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. [Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkat Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin (kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah). Selain itu Fadillah masih terhitung cucu SUNAN Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahin Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).

Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan sehari-hari).

Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase) terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah.

Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan Meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.

Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersipakan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.

Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.

Cirebon sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.

Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan Meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.

Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon.
Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten).

Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.

Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat Sakakala (tanda peringatan buat ayahnya). Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasti Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa Lingga Batu ditanamkan.

Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu. Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi Astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi Padatala ukiran jejak kaki. [Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara Srada yaitu "penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.

Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kaung Pandak). Di Muara Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut Jalan Banten Lama ("oude Bantamsche weg").

Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai Sakakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di PADAREN. Diantara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babadd maupun pantun. [Babad Pajajaran atau Babad Pakuan sebenarnya mengisahkan "petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan gaya cerita Panji.

3. Ratu Dewata (1535 - 1543)
Surawisesa digantikan oleh puteranya (Ratu Dewata). Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara Sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa Pwah-Susu (hanya makan buah-buahan dan minum susu). Menurut istilah kiwari= vegetarian.
Resminya perjanjian perdamaian Pajajaran - Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai Tunggul Negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk Politik.

Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran - Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan jati) yang melihat kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat.

Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf. Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya).

Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Disamping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya. Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet.

Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja) "Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kaputren (tempat isteri-isteri-nya), Kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Amateguh Kedatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atai kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini Kota Raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.

Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut Lemah Duwur atau Lemah Luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi 3 batang sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi} Lokasi Pakuan merupakan lahan Lemah Duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah. Tipe Lemah Duwur biasanya dipilih sama masyarakat dengan latar belakang kebudayaan Ladang. Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan Perkebunan.
Tipe lain adalah apa yang disebut Garuda Ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang Kebudayaan Sawah. Mereka menganggap bahwa lahanyang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut, Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon karena ia orang Sindangkasih (Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola Garuda Ngupuk pada lokasi Pusat Kota Sumedang yang sekarang.

Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedeng, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa Kawikuan yang dilindungi oleh negara.

Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus "memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan Manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca) "Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan" (Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah jaman susah).

4. Ratu Sakti (1543 - 1551)
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini "estri larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasurua dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.

5. Ratu Nilakendra (1551 - 1567)
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu) Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.

Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Seringkali, untuk mempercepat keadaan tidak sadar itu, digunakan meinuman keras yang didahului dengan pesta pora makanan enak. "Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar" (Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenaginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).

Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu ("dibalay") mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.

Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah "bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi Laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan
"alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf

Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian. Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.

6. Raga Mulya (1567 - 1579)
Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. Mungkin raja ini berkedudukan di Kadu-hejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, "Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala" (Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalamPupuh Kinanti (artinya saja)

"Waktu keberangkatan itu
terjadi bulan Muharam
tepat pada awal bulan
hari Ahad tahun Alif
inilah tahun Sakanya
satu lima kosong satu"

Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.

Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi "penghianatan". Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena "tidak memperoleh kenaikan pangkat". Ia adalah saudara Ki Jongjo (seorang kepercayaan Panembahan Yusuf). Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan oleh saudaranya itu. [Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya].

Berakhirlah jaman Pajajaran (1482 - 1579), ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan di beritakan sebagai berikut:

"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka
Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu
Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan
Sanghiyang Sri Ratu Dewata
  
(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta
Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu
penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana
Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu Pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara Batu Ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.


STRUKTUR KERAJAAN DAN BIROKRASI

A. Struktur Kerajaan
Pajajaran sebagai nama kerajaan, memang belum pernah ditemukan dalam sumber-sumber prasasti, hampir semua bukti yang ada memberikan gambaran bahwa Pajajaran hanya sebagai pusat kerajan(ibu kota), lengkapnya Pakwan Pajajaran (prasasti Kebantenan dan Batutulis). Pajajaran sebagai nama kerajaan, ditemukan terutama didalam naskah-naskah yang lebih bernilai sastra, termasuk arita pantun yang berupa peninggalan sastra yang bersipat oral history (sumber lisan). Di dalam carita pantun, disebutkan hamper sedikitnya tiga buah daerah yang disebut Pajajaran, masing-masing yaitu; Pajajaran Timur, Pajajaran Tengah dan Pajajaran Barat, pajajaran Timur mnurut sumber carita pantun tersebut terletak di daerah Banyumas sekarang, sementara Pajajaran Barat terletak di daerah Banten. Dengan demikian, daerah yang terbentang antara banten dan Banyumas, termasuk wilayah Pajajaran tengah (marwati dan Noegroho, 1993:376).

Sumber-sumber asing dari masa yang sejaman, juga tidak pernah menyebutkan tentang adanya kerajaan yang bernama Pajajaran. Tome Pires dalam perjalanannya menyebutkan adanya sebuah Negara Cunda (= Sunda) dengan ibukotanya yang bernama Dayo (= Dayoh). Sebuah berita Portugis lainnya menyebutkan bahwa pada tahun 1512, Hendrik de Leme memimpin perutusan Portugis dari Malaka ke Sunda, yang beribukota dayo juga. Dari sumber Portugis ini sedikitnya masih ada tiga berita lain yang menyebutkan Sunda. Didalam bukunya Da Asia sejarawan Portugis yang bernama Barros Menyebutkan bahwa daerah Sunda terbenteng antara ujung Jawa Barat di pantai Barat sampai sungai Cimanuk. Sedangkan menurut Barbosa Qumda (= Sunda) adalah suatu tempat yang kecil saja dimana terdapat banyak lada. Dari masa yang sama, muncul sebuah sajak yang ditulis oleh Luis de Camoes. Seorang penyair yang ikut dalam pelayaran keliling dunia dengan Magelhaen. Didalam sajaknya “Os Lusiada” (Canto X). Camoes antara lain menulis;” …….Kesana kerajaan Sunda menjengkaukan lengan kuasa….” . Sementara itu , “Illha do Jaoa”, sebuah peta yang dibuat oleh Pero de Lavanha (1524) malah dengan tegas memisahkan daerah yang disebut “Sunda” atau “Zunda” dari “Jaoa”.

Hal yang sama juga ditemukan di dalam berita Cina, berita yang berasal dari Cheng-ho ada disebutkan bahwa ia beberapa kali diutus oelh kaisar Cina ke Negara-negara yang terletak di sebelah selatan Cina. Salah satu Negara yang pernah dikunjunginya bernama Sun-la, yang kemungkinan besar merupakan lafal Cina dari Sunda.

Bahan yang berasal dari dalam negeri, juga sesuai dengan sumber yang bersal dari luar. Cerita Parahyangan sudah menyebutkan adanya seorang Tohaan di Sunda (= yang dipertuan di Sunda) sebagai mertua Rahyang Sanjaya. Daerah yang disebut Sunda itu terletak di sebelah barat (Ci)tarum. Dalam naskah itu nama Sunda itu beberapa kali muncul, baik sebagai nama daerah, bangsa, maupun adat-kebiasaaan. Sebagai daerah, selain yang disebut di atas. Sunda muncul lagi dalam pristiwa yang dikenal sebagi Perang Bubat (1357). Sebagai nama daerah selain dalam Cerita Parahyangan, Sunda juga disebut dalam beberapa naskah lain. Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesiang menyebutkan “…urang lömpang ka jawa, hamo urung carekna, döngön carana, mangu rasa urang, anggös ma urang pulang döi ka sunda….”Kita pergi ke jawa tidak mengikuti bahasa mereka, demikian juga adatnya, canggunglah perasaan kita, setelah kita kembali ke sunda. Pararaton juga menyebuutkan Sunda sebagai daerah: “….Tumuli Pasunda bubat, Bhre prabhu ayun ing putri ring Sunda. Patih Madu ingutus angundangeng wong Sunda, ahidep wong Sunday an awawarangana….” Lalu terjadilah peristiwa Sunda-Bubat. Bhre Prabu menginginkan putrid dari Sunda. Patih Madu diutus untuk mengundang orang Sunda, (karena) baiklah seandainya orang Sunda dijadikan besan…. Sementara itu sebuah naskah lain dengan jelas sekali mempergunakan Sunda sebagai namanya, yaitu Kidung Sundayana. Dalam hubungannya dengan dat kebiasaan, nama Sunda kita dapati dalam Cerita Parahyangan pada bagian yang mengisahkan Prabu Ratudewata: (XXI)… disunat ka tukangna, jati sunda tea… disunat kepada ahlinya, itulah adat sunda asli.

Bukti lain yang memperkuat tentang adanya kerajan Sunda adalah sumber prasasti yang menyebutkan tentang adanya sebuah Negara yang bernama prahajya sunda, sedangkan rajanya yang bernama Sri Jayabhupati, menyebut dirinya sebagai haji ri sunda (raja di sunda). Sumber lain dalah prasasti yang ditemukan di Jawa Timur, yaitu prasasti Horrenbertuliskan “/6/ ring kahadradara, nguniweh an dadyan tumangga-tangga datang nikanang satru sunda, mangkana rasa ning panembah ni, /6/”(pada saaat kekacauan, apalagi apabila kemudian terjadi tetangga (lalu) datanglah musuh (dri) Sunda. Demikian rasanya yang memohon kepada).

Tome’ Pires dalam catatan perjalanannya menyebutkan bahwa raja Sunda bertakhta di ibukota Dayo, yang letaknya agak di pedalaman. Ibukota itu dapat dicapai dalm dua hari perjalanan dari (Sunda) Kalapa, kota pelabuhan kerajaan Sunda yang terbesar dan juga terpenting. Mengenai system pemerintahan yang berlaku di kerajaan Sunda, TomePires menyebutkan, nahwa kerajaan Sunda diperintah oleh seorang rja. Disamping raja pusat, di daerah-daerah tertentu, terdapat raja-raja yangf berkuasa di derah mereka masing-masing. Hak waris takhta diturunkan kepada anaknya, tetapi jika raja tidak punya anak, maka yang menggantikan dipilih di antara raja-raja daerah yang tebesar.

Kerajaan sunda memiliki enam buah pelabuhan penting, yang masing-masing dikepalai oleh seorang Syahbandar (nakhoda). Mereka bertanggungjawab kepada raja, dan bertindak sebagai wakil raja di Bandar-bandar yang mereka kusai. Keenam Bandar tersebut ialah Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Kalapa dan Cimanuk.
Sebuah naskah yang berasal dari tahun 1518 Sanghyang Siksakanda ng Karesian. Memberikan keterangan yang dapat dipergunakan untuk mengisi kekosongan dalam masalah struktur kerajaan ini. Didalam naskah itu antara lain disebutkan bahwa

…..nihan sinangguh dasa prebakt nagaranya: anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di pacandaaan. Sisya bakti di guru, wong tani bakti di wado,wado bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan, nuangganan bakti di amngkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di Hyang….,

….inilah perigatan yang disebut sepuluh kebaktian: anak bakti kepada bapa, istri bakti kepada suami, rakyat bakti kepada majikan(pacandaaan=tempat bersandar), murid bakti kepada guru, petani bakti kepada wado (= penjabat rendahan). Wado bakti kepada mantri (=pegawai), mantra bakti kepada nu nangganan, nu nangganan bakti kepada Mangkubumi, Mangkubumi bakti kepada Raja/ratu, Raja/ratu bakti kepada Dewatas, Dewata bakhti kepada Hyang….
Dari kutipan di atas jelas bahwa penjabat yang paling dekat hgubungannya dibawah Raja ialah Mangkubumi. Ia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi atu dilakukan oleh bawahannya, yaiutu nu nangganan, lalu berturut-turut kebawah kita jumpai penjabat-penjabat yang disebut mantri dan wado. Berdasarkan bahan-bahan yang ada tersebut baramngkali dapatlah disusun struktur kerajaan Sunda pada masa itu sebgai berikuit:

Ditingkat pemerintahan pusat, kekuasaan tertinggi betrada ditangan raja. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, raja dibantu oleh Mangkubumi yang membawahi beberapa orang nu nanganan. Di samping itu terdapat pula Putra Mahkota, yang akan menggantikan kedudukan sang Raja, jika raja meninggal dunia atau mengundurkan diri. Untuk mengurus daerah-daerah yang luas, Raja di bantu oleh beberapa orang Raja daerah. Raja-raja daerrah itu dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari, bertindak sebgai Raja yang merdeka (mempunyai Hak otonomi yang luas), tetapi mereka tetap mengakui Raja Sunda yang bertahta di pakwan Pajajaran atau Dayo sebagai jungjunan mereka. Dalam keadaaan Raja tidak meninggalkan pewaris takhta, maka salah seorang Raja dari daerah-daerah itu dapat dipilih dapat dipilih untuk mengantikan kedudukan Sang Raja sebagai Raja terbesar yang bertakhta di Pakwan Pajajran. Sementara itu, untuk mengurus masalah yang langsung berhubungan dengan perniagaan, di keenam buah bandarnya, raja diwakili oleh para Syahbandar. Yang bertindak untuk dan atas nama Raja Sunda di daerah yang mereka kuasai masing-masing.

Struktur kerajaan seperti itu rupanya yang paling sesuai dengan kondrat kerajaan Sunda. Carita-carita pantun juga umumnmya mengisahkan adanya seorang Putra Raja Pajajaran yang mengembara, dan dalam pengembaraannya itu ia menaklukan raja-raja kecil yang ditemuinya, setelah raja-raja kecilitu takluk, mereka kemudian diangkat lagi menjadi penguasa di daerahnya masing-masing dengan syarat bahwa mereka harus mengakui kekuasaan tertinggi yang ada di Pakwan Pajajaran.


BOGOR TUNAS PAJAJARAN

1. Masa Tilem
Waktu antara "Pajajaran sirna" sampai "ditemukannya kembali" oleh ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota yang pernah berpenghuni sekitar 48271 jiwa ini ditemukan sebagai "puing" yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703). Untuk jamannya, Bogor merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Demak (berpenduduk 49197 jiwa), dan masih dua kali lipat lebih banyak dari penduduk Pasai (23121 jiwa) yang merupakan kota terbesar ketiga.

Pakuan tersisih dari percanturan hidup. Kemewahan yang ditampilkan oleh penghuni keraton dalam masa Nilakendra hanyalah ibarat Kobaran Api Lilin Menjelang Padam. Setelah raja tidak lagi berdiam di ibukota, maka kehidupan Pakuan sebagai pusat pemerintahan sebenarnya sudah berakhir. Panembahan Yusuf dari Banten memadamkannya "secara resmi" walaupun sebenarnya ia sudah berhasil mengakhiri kekuasaan Raga Mulya (Suryakancana) di Pulasari sebelum itu.

Masa silam yang lebih sering memantulkan gema yang kabur, proyeksinya dapat kita lihat dalam lakon pantun dan babad. [Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana sendiri yang mengantarkan Scipio jelas baru terpisah satu abad dengan kehidupan Pakuan. Tanggal 1 September 1687 itu mereka menjadi peziarah pertama di puing Kabuyutan Pajajaran yang mereka duga sebagai singggasana raja.
Dalam tahun 1703, Abraham van Riebeeck sudah melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan tersebut. Jadi sejak ditemukan oleh rombongan Scipio, orang merasa "bertemu kembali" kembali dengan Pajajaran yang telah hilang.

Tahun 1709, Van Riebeeck melihat ladang baru pada lereng Cipakancilan. Tanda kehidupan baru di bekas Pakuan mulai muncul. Mudah diperkirakan bahwa peladang itu akan membuat dangau tempat tinggalnya pada tepi alur Cipakancilan yang tidak kelihatan oleh Van Riebeeck karena ia berkuda pada jalur jalan Pahlawan yang sekarang]

Lain lahan lain pikiran. Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya "dihidupkan kembali" tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang dirindukkan dan disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka "Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan" (Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) Pakuan terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya menjelmakan gagasan Pajajaran Ngahiang atau Pajajaran Tilem seperti orang Ciamis yang kehilangan Galuhnya mencetuskan Dunia Onom.

"Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun"
(Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang)
Ini adalah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajarannya, bahkan mereka berani menghibur diri dengan berkata:

"Ngan engke bakal ngadeg deui"
[Suatu saat akan berdiri kembali)
2.       Tanuwijaya Peletak Dasar Negeri Bogor
Riesz. dalam "De Geschiedenis van Buitenzorg" (1887) menjelaskan bahwa Tanuwijaya adalah orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk "pasukan pekerja" dan mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka Hutan Pajajaran sampai akhirnya ia mendirikan Kampung Baru yang menjadi tempat "kelahiran" (de bakermat) Kabupaten Bogor yang didirikan kemudian. Tanuwijaya dalam catatan VOC disebut "Luitenant der Javanen" (Letnan orang-orang Jawa dan merupakan Letnan Senior diantara teman-temannya. Kampung Baru yang didirikannya ada di Cipinang (Jatinegara) dan di Bogor. Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana. Tetapi ketika Tanuwijaya pindah dari Kampung Baru Cipinang ke sana, ia kemudian memberi nama Kampung Baru. Sekarang bernama Tanah Baru.

Terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas Ibukota Pakuan bersama Scipio, ia kemudian ingin mendekatkan diri dengan peninggalan Siliwangi. Kampung-kampung seperti Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng dan Cimahpar adalah kampung-kampung yang didirikan oleh Tanuwijawa bersama pasukannya. Kampung Baru (Parung Angsana) saat itu sudah menjadi semacam "pusat pemerintahan" bagi kampung-kampung yang didirikan secara terpencar oleh anak buahnya. Tanuwijaya pula yang mengambil inisiatif membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang Kumpeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman pada daerah aliran Cikeas. Sementara itu daerah aliran Ciliwung antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang Mataram yang tidak mau kembali ke daerah asalnya setelah tercapainya persetujuan antara Mataram dan VOC tahun 1677. Sebagian dari mereka adalah pelarian pasukan Bahurekso, sebagian lagi kelompok resmi yang dikirimkan oleh Sunan Amangkurat I tahun 1661 ke Muara Beres bekas basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Benteng Batavia].

Rasa hormat Tanuwijaya terhadap bekas Ibukota Pakuan demikian besar sampai gerakan okupasinya dihentikkan pada sisi utara Ciliwung. Ia tidak berani melintasinya. Juga kepada rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai tersebut dianjurkan agar melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua).

Almarhum M.A. Salmun pernah menulis dalam Majalah Intisari (salah satu nomor tahun pertama), bahwa Menak Ki Mas Tanu dalam lirik lagu Ayang-Ayang Gung itu dimaksudkan Tanuwijaya ini. Entahlah, akan tetapi hampir tiap baris lirik lagu itu dapat diterapkan kepada keadaan Tanuwijaya dalam riwayat hidupnya. Ia memang anak emas Kumpeni dan dibenci oleh rekan-rekannya. Ia ditunjuk oleh Camphuijs menggantikan Letnan Pangirang (orang Bali) untuk membuka daerah selatan.
Rupa-rupanya kedekatan batin Tanuwijaya dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kumpeni. Ia tentu merasakan kepahitan bahwa sebagai seorang letnan tetap harus tunduk kepada seorang sersan seperti Scipio yang kulit putih, padahal ia sendiri menjadi atasan sersan pribumi. Akhirnya "anak emas" Kumpeni ini menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekuasaan VOC. Mereka kalah dan Tanuwijaya dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.

Orang dulu menyindir Tanuwijaya dengan "lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong" (ia mengejar harapan kosong dan bermesraan dengan orang tidak bergigi) Yang dimaksudkan dengan "orang tidak bergigi" di sini adalah Perwatasari yang kalah dalam perjuangan.
Dalam masa penjajahan Belanda, penyusun Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan nama Tanuwijaya sebagai "bupati pertama". Dalam daftar silsilah biasanya selalu dicantumkan Mentengkara atau Mertakara kepala Kampung Baru yang ketiga (1706 - 1718). Ia adalah putera Tanuwijaya (menurut De Haan). Sebaliknya para penulis Belanda, lebih leluasa menyebutkan Tanuwijaya sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor.

Pengalaman Tanuwijaya dengan Kumpeni adalah mirip dengan pengalaman Untung Surapati. Akan tetapi, jika benar lirik "Ayang-ayang Gung" diciptakan untuk menyindir Tanuwijaya, maka kita patut merenungkannya kembali].
Tahun 1745, 9 distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindangbarang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru digabungkan menjadi satu "pemerintahan" di bawah kepala Kampung Baru dan diberi gelar Demang. Gabungan 9 distrik inilah yang dahulu disebut "Regentschap Kampung baru" atau "Regentschap Buitenzorg". Atas dasar itulah kedua sungai (Cisadane dan Ciliwung) dalam lambang Kabupaten Bogor masing-masing digambarkan dengan 9 baris gelombang. Ada benarnya apa yang dikemukakan Riesz, bahwa Kampung Baru (Tanah Baru) adalah "de bakermat" (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor.

3. Letusan Gunung Salak
Pada malam hari tanggal 4/5 Januari 1699, Gunung Salak meletus dengan iringan gempa bumi yang sangat kuat. Sebuah catatan dari tahun 1702 menceritakan keadaan yang diakibatkannya: "Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta yang disebut Pakuan yang asalnya berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi berubah menjadi lapangan yang luas dan terbuka tanpa pohon-pohonan sama sekali.

Permukaan tanah tertutup dengan tanah liat merah yang halus, seperti yang biasa digunakan tukang tembok. Di beberapa tempat telah mengeras sehingga dapat menahan beban langkah yang berjalan di atasnya, tetapi pada tempat- tempat lain orang dapat terbenam sedalam satu kaki.
Di tempat bekas keraton yang disebut Pakuan yang terletak di antara Batavia dengan Cisadane belum pernah terjadi bencana lain yang menyebabkan tanah tersobek dan pecah terbelah-belah menjadi retakan-retakan besar yang lebih dari satu kaki lebarnya".

Berita lain mencatat bahwa aliran Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang bebebrapa ratus meter akibat lumpur yang dibawanya. Van Riebeeck yang membersihkan sumbatan itu mengajukan tuntutan agar tanah Bojong Manggis dan Bojong Gede diberikan kepadanya sebagai upah.
Untuk meneliti akibat gempa ini, Kumpeni mengirimkan ekspedisi Ram & Coops dalam tahun1701 ke kaki Gunung Pangrango. Dari survey ini diberitakan bahwa aliran Cikeumeuh masuk terbenam ke dalam tanah dan sobekan Puncak Gunung Salak menghadap ke arah barat laut. Diperkirakan, bahwa tanah yang terbelah hebat itu terjadi antara Ciliwung dan Cisadane. [Panen batu dan pasir di daerah Ciapus saat ni adalah merupakan hadiah yang ditinggalkan oleh letusan Gunung Salak].

Tidak ada berita mengenai nasib penduduk sepanjang aliran Ciliwung waktu itu. Hanya saja pada tahun 1701, penduduk Kampung Baru masih dapat mengantar Ram & Coops. Selain itu Abraham van Riebeeck tidak mencatat apa-apa mengenai sisa-sisa akibat letusan itu. Ini menunjukkan bahwa kehidupan penduduk yang masih jarang itu tidak terganggu. Tahun 1704 Van RiebeecK mendirikan pondok peristirahatan di Batutulis karena ia menganggap Gunung Salak sudah tidak menakutkan lagi.

4. Kopi membuka Cakrawala Baru
Usaha Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon (1718 - 1725) membiakkan tanaman kopi di sekitar benteng Batavia berhasil baik. Tahun 1721 hasil kopi sudah bisa dihasilkan di beberapa daerah, diantaranya:

Daerah Produksi, (Pikul)
Kampung Baru, 61 000
Kedung Badank, 1 596
Cipamingkis, 43 825
Cianjur & Jampang, 59 900
Cibalagung, 5 750
Cikalong, 4 350
Bekasi, 482
Jati Nagara, 8 450
Cibadak (Cipamingkis), 250
Pager Wesi, 800
Tangerang, 1 800

Melihat hasil yang baik ini, maka sejak 15 April 1723 tanaman kopi diwajibkan juga di tanah-tanah swasta sekitar Jakarta. Sejak saat itu, mulailah apa yang disebut "Sistem Periangan" (Preanger Stelsel) yang berlangsung 2 abad lamanya. Tahun 1724, Wiranatu III (Bupati Cianjur) telah dapat memanen kopi sebanyak 1 216 257 pikul (berharga 202 271,25 ringgit).

Tanaman yang diwajibkan dalam "stelsel", selain kopi adalah kapas, lada dan tarum (indigo). Akan tetapi, saat itu kopi menjadi komoditi utama karena laku keras di pasar dunia. Produk kopi dari Jawa Barat ini laku keras di Meksiko dan telah berjasa menolong Kas Keuangan Pemerintah Hindia Belanda jamannya Daendels. Saat itu, hubungan ke negeri Belanda terputus akibat peperangan antara Perancis dan Inggris. Atas dasar ini Jawa barat mendapat julukan Gabus Pelampung Pemerintah Hindia Belanda Di Indonesia. Politik dan sistem pemerintahan Belanda di Jawa Barat selalu disesuaikan dengan kepentingan kopi ini. Sistem tanam paksa yang hanya berlaku di Cirebon disebut Culturstelsel.

5. Bogor "sirung" Pajajaran
Di lokasi Istana Bogor sekarang, mula-mula dibangun sebuah bangunan sederhana oleh van Imhoff yang dimaksukan untuk singgah istirahat dalam perjalanan dari benteng Batavia ke Cipanas (jadi menurut penulis adalah kurang tepat kalau menyebut Istana Bogor itu gagasan van Imhoff). Van Imhoff sendiri merencankan membuat istana di Cipanas. Di Cipanas pula didirikan Rumah Sakit Militer waktu itu. [Baron van Imhoff adalah tipe khusus kaum elite terpelajar eropa barat abad ke-18 yang umumnya cenderung kepada liberalisme Perancis dan penganut setia faham Romantisme ajaran Rosseau. Ajaran ini menhanjurkan manusia kembali kepada alam dan peradaban dianggap sebagai "racun bagi kemurnian manusia.

Mode kaum cendikiawan Eropa Barat waktu itu adalah mencari tempat-tempat yang sepi-hening. Mencari daerah yang kalau mungkin belum dijamah oleh tangan peradaban sehingga dapat digunakan sebagai tempat persembunyian di mana kesibukan tidak mungkin mengejarnya. Dengan penuh kerinduan mereka mengaakrabi tampang alam dan dengan demikian mereka menikmati kehadiran dirinya sebagai bagian dari alam itu.

Mode para pencari kewajaran alami ini adalah membangun vila sederhana yang mungil dan serasi dengan alam sekitarnya. Tempat-tempat seperti ini dinamakan Sans-Souci, kata berbahasa Perancis yang berarti tanpa kesibukan atau tanpa-urusan. Orang-orang belanda menerjemahkan nama tersebut ke dalam bahasa mereka menjadi Buitenzorg.

Demikianlah bangunan sederhana yang didirikan van Imhoff pada lokasi Istana Bogor yang sekarang diberinya namaBuitenzorg mengikuti mode yang sedang berkembang di negaranya. Karena suasana di benteng Batavia yang selalu sibuk, penuh sesak dan kepengangan udara yang berasal dari muara Ciliwung, para Gubernur Jenderal sangat senang dengan adanya Villa Buitenzorg itu.

Dengan Surat Keputusan Dewan Direksi VOC di Amsterdam tanggal 07.06.1745, lahan di sekitar Buitenzorg yang diusulkan van Imhoff dijadikan "eigendom" van Imhoff dan para Gubernur Jenderal, selanjutnya "in officio". Dengan demikian Tanah Buitenzorg itu dijadikan semacam Tanah Bengkok yang harus dibeli oleh tiap Gubernur Jenderal baru kepada pejabat lama yang digantikannya. [Jacob Mossel adalah pembeli pertama kali dari van Imhoff dengan harga 5500 ringgit. Pembeli terakhir adalah Daendels dalam tahun 1808 seharga 39000 ringgit. Tetapi dengan alasan "gajinya tidak cukup" ia secara licik menjualnya kepada pemerintah yang dikepalainya dengan harga 360000 ringgit.

Batas-batas Tanah Buitenzorg adalah Puncak Gunung Gede - Puncak - Talaga Warna - Mega Mendung - Ciliwung - Muara Cihideung - Puncak Gunung Salak - Puncak Gunung Gede.
Dengan tanah seluas itu, maka tiap Gubernur Jenderal VOC yang resminya hanya Ketua Dewan Hindia dalam jaringan dagang Kumpeni Belanda di Timur Jauh, langsung menjadi Landvoogd (tuan tanah). Ia boleh menyewakannya, tetapi tidak boleh menjualnya kecuali kepada pejabat yang menggantikan kedudukanya.

Van Imhoff adalah pimpinan VOC pertama yang melaksanakan politik teritorial melalui sistem pencetakan sawah. Di samping untuk mempertinggi hasil padi, ia juga ingin mengikat penduduk kepada pemukiman tetap. Lewat keputusan tanggal 10 Agustus 1745, ia menetapkan bahwa sejauh 10 jam perjalanan dari rumah Buitenzorg ke arah hulu (Ciliwung) tidak boleh ada "gaga atau Tipar". Politik sawah van Imhoff mulai dilaksanakan di Cisarua.
Lewat kemungkinan penyewaan Tanah Buitenzorg, maka mulailah lahan antara Ciliwung dengan Cisadane (pada lokasi bekas Kota Pakuan) dihuni orang. Berkembanglah pula perkebunan kopi, lada dan tarum.

Dokumen Belanda menunjukkan bahwa tahun 1752 sudah ada Kampung Bogor di bawah kekuasaan Kepala Kampung Baru. Jadi penduduk yang tinggal tidak jauh dari rumah Buitenzorg itu tidak termasuk Rakyat Gubernur Jenderal, melainkan tetap menjadi rakyat Bupati di Kampung Baru. Tahun 1754 Bupati Kampung Baru mengajukan permohonan kepada Mossel agar diizinkan menyewa Tanah Sukahati untuk kediamannya. Dokumen tertanggal 29 Desember 1761 nomor 9092 memberitakan, bahwa Bupati Kampung Baru (Natanagara) sudah berkedudukan di Sukahati. Kemungkinan besar, Demang Wiranata (1749 - 1758) sebagai bupati pertama juga sudah berkedudukan di sana. Sebelumnya, Demang Wiranata (adik Wiranatu III, Dalem Dicondre) adalah Patih Cianjur. Ia dikenal baik Kumpeni karena merupakan salah seorang pelopor perkebunan kopi di Jampang.

Dokumen tanggal 18 Januari 1776 memberitakan, bahwa kediaman bupati di Sukahati itu terletak di sebelah timur Cisadane dekat muara Cipakancilan, berdiri di atas lahan yang termasuk dalam kawasan Buitenzorg di sebuah lembah dan di depannya terdapat sebuah empang atau kolam besar ("vijver"). [Bila demikian, sejak tahun 1770-an (sebelum taun 1775) nama Empang sudah mulai muncul dan berangsur-angsur mendesak nama Sukahati] Dokumen 28 November tahun 1815 secara resmi sudah menyebut tempat itu dengan nama Empang. Catatan tahun 1816 melukiskan, bahwa rumah itu terdiri atas dua bangunan tempat tinggal yang dihubungkan dengan galeri, terbuat dari kayu bukan jati, berlantai Palupuh (bambu) dan sebuah paseban terbuat dari kayu serta beratap genting.

Sebuah lukisan rumah di Sukahati pada masa G.J. Van der Parra (1761 - 1775) menunjukkan, bahwa bila orang berdiri di bawah jembatan kereta api Pasar "Ramayana" yang sekarang, maka tatapannya akan tepat berhadapan dengan rumah tersebut. Di luar pagar alun-alun di depan rumah tersebut ada sebuah kolam besar. Yang penting di sini, bahwa Rumah Bupati itu didirikan pada tepi bekas alun-alun luar Pakuan.

Dengan kepindahan bupati dari Tanah Baru ke Sukahati (Empang), kesibukan urusan pemerintahan pun berpindah. Terbukalah salah satu sumber penghasilan baru bagi Gubernur Jenderal yang memiliki tanahnya. Pasar (seminggu sekali) segera dibuka dan menjadi ramai. Dalam tahun 1777 dari penghasilan tambahan Gubernur Jenderal yang sebanyak 14000 ringgit, ternyata 8000 ringgit berasal dari hasil sewa pasar, selebihnya dari 4 sumber lain. Pasar ini "tumbuh" dekat kampung Bogor sehingga namanya pun sampai sekarang masih bertahan dengan sebutan Pasar Bogor.

Kemajuan pasar mengundang para pedagang untuk bermukim, termasuk orang-orang Cina. Mula-mula para pedagang ini menempati lereng Ciliwung di daerah Lebak Pasar. Baru kemudian berangsur-angsur ada yang merayap naik ke sepanjang Jl. Suryakancana. Tumbuhnya pasar pada lokasi itu mudah di mengerti karena semua hasil bumi (tanaman) wajib diangkut ke "gudang" pada lokasi jajaran Toko Hindia. Dari situ, para petani yang baru saja menerima uang singgah di pasar.
Untuk mendekati lokasi pasar ini, Kaum Paledang (pandai tembaga) mendirikan pemukiman pada lokasi Kebun Palem dekat lokasi Kantor Pos yang sekarang. Kampung ini kemudian dipindahkan ke Kampung Paledang yang sekarang (di seberang Kantor Pos) sewaktu lokasi asal dimasukkan ke dalam bagian Kebun Raya Bogor. Embah Jepra adalah pemimpin kaum paledang tersebut (makamnya ada di dalam Kebun Raya Bogor).

Bila kita perhatikan, kampung-kampung atau pemukiman awal yang menjadi inti pertumbuhan Kota Bogor, yaitu Lawang Gintung (yang pertama), Lebak Pasar, Baranangsiang (dekat Pulo Geulis), Bogor, Gudang dan Sukahati (sekarang Empang), semuanya terletak pada lahan yang "menempel" pada tepi bagian luar bekas benteng Pakuan. Tempat-tempat itu tumbuh laksana Sirung (tunas pohon) di sekitar tunggul pohon induknya. Pertumbuhan Kota Bogor itu seolah-olah "berakar" pada sisa-sisa benteng Pakuan. Selain itu, para penghuni Kota Bogor masa itu mampu pula menghasilkan "karya besar" seperti penghuni Pakuan di masa silam. Karya yang dimaksud adalah Membelah Aliran Cisadane pada tahun 1775. Sebagian air yang mengalir di Cisadane, dialirkan ke Cipakancilan.

Kemudian muara Cipakancilan (pada tepi Cisadane) dibendung dan disalurkan lewat kanal baru (sungai buatan). Dengan pengalihan alur Cipakancilan ini, maka terbentuklah Empang Pulo yang dikelilingi air dari tiga penjuru beserta bekas alur Cipakancilan pada sisi yang ke empat. Alur Cipakancilan sendiri dipecah dua lagi dengan kanal Cidepit yang alirannya diarahkan ke Ciliwung. Pada hari Selasa tanggal 6 Agustus 1776, untuk pertama kalinya air Cisadane dapat bertemu dengan aliran Ciliwung].

Untuk memahami karya besar ini, silahkan berjalan sepanjang Jalan Paledang antara Tanjakkan Pala dengan Jembatan Merah. Saluran buatan itu sangat lebar dan dalam. Itupun baru sepenggal dari karya besar mereka yang dikerjakkan selama satu setengah tahun di bawah pimpinan Aria Natanagara (1761 - 1787). Yang penting di sini bahwa karya besar itu tidak dikendalikan dari rumah peristirahatan Buitenzorg, melainkan dari rumah bupati di Empang.


WARISAN NILAI BUDAYA

Di bagian awal telah diungkapkan, bahwa Pakuan mencapai puncak perkembangannya dalam masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang oleh masyarakat Jawa Barat dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Sejalan dengan itu penduduk Pakuan pun mencapai jumlah nomor dua terbesar di antara kota-kota di Nusantara waktu itu. Masa inilah yang disebut Gemuh Pakuan dalam beberapa naskah tradisional karena di daerah-daerah pun banyak kerabat atau yang terikat kekerabatan dengan Siliwangi menjadi pemegang kekuasaan dan mengembangkan kesejahteraan hidup di kawasannya.

Jaman dahulu, ketika segala hal masih harus dikerjakan dengan tenaga manusia, jumlah penduduk menjadi ciri kemajuan dan kemakmuran negara. Bagi negara agraris jaman dulu, penyerangan dan penaklukan negara tetangga lebih ditujukan kepada upaya menambah jumlah penduduk dari pada perluasan tanah. Oleh sebab itulah, negara agraris dalam jaman silam selalu mengidap watak agresif yang tersebunyi dan akan meledak setiap kali ada kesempatan.

Negara yang banyak penduduknya disebut negara yang Gemah Ripah. Gemah atau Gemuh berarti banyak penduduknya (Volkrijk, menurut Coolsma). Sedangkan Ripah atau Rimpah sama artinya dengan kata Indonesia Limpah (meluap). Jadi Gemah-ripah mengandung arti sangat banyak penduduk seolah-olah melimpah. namun entah mengapa, timbul salah kaprah mengenai artinya yang pada saat ini banyak dipahami sebagai subur makmur. Akibat pengaruh Hindu, kata Gemah-ripah sering disambung dengan Loh Jinawi. Loh atau lwah berarti sungai, dan Jinawi adalah nama lain untuk Sungai Gangga di India. Jadi arti utuh dari Gemah-Ripah Loh Jinawi adalah padat (banyak sekali penduduknya seperti daerah Sungai Gangga. Keadaan seperti ini, memang yang didambakan negara-negara agraris jaman dahulu.

Masa Gemah Pakuan disertai oleh kemajuan dalam berbagai segi kehidupan. sesuai dengan jamannya, apa yang kita sebut maju waktu itu mungkin hanya keadaan "sederhana" menurut ukuran hidup jama sekarang ini. Meskipun demikian ada hal yang sifatnya bisa "abadi" jika dilihat dari segi isi dan maknanya, yaitu "Nilai Budaya".

Dari jaman Siliwangi, kita diwarisi sebuah naskah kuno yang disebut Siskandang Karesian Dan Kundangeun Urang Reya(untuk pegangan hidup orang banyak). Naskah ini tersiri atas 30 lembar dan pada akhir naskah dicantumkan tahun penulisannya, yaitu Nora Catur Sagara Wulan (tahun 1440 (Saka) atau 1518 M. Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode KROPAK 630.
Sebagian isi dari naskah itu, ada baiknya juga kita ketahui sebagai berikut:
1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh)
2. Tapa di Nagara
3. Panca parisuda
4. Hidup yang penuh berkah
5. Parigeuing dan dasa pasanta
6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)

1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh)
Kesejahteraan hidup dapat kita capai bila kita mampu memelihara kegunaan 10 bagian tubuh, yaitu telinga, mata, kulit, lidah, hidung, mulut tangan, kaki, tumbung (dubur) dan alat kelamin (baga atau purusa). Dituturkan umpamnya (artinya saja)

"Telinga jangan mendengarkan hal-hal yang tidak layak didengar karena
menjadi pintu bencana penyebab kita menemukan kesengsaraan di dasar
kenistaan neraka, tetapi bila (telinga) digunakan untuk hal-hal yang
baik, kita akan memperoleh keutamaan dari pendengarannya"

Dukun bayi jaman dulu selalu membisikkan ajaran ini pada telinga kiri si bayi setelah bayi itu dimandikan. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang pertama-tama diperkenalkan kepada manusia adalah ajaran moral tentang hidup bersusila.

2. Tapa di Nagara
Naskah itu menyebut sebagai contoh 29 macam pekerjaan yang bermanfaat bagi umum, seperti menteri, bayangkara, pandai besi, prajurit, petani, anak gembala, dalang dan lain-lain. Lalu dijelaskan "Eta kehna turutaneun, kena eta ngawakan tapa di nagara" (semua itu patut ditiru karena mereka itu melakuan tapa dalam negara) Jadi yang dimaksud dengan tapa ini adalah melaksanakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum. Oleh sebab itu penulis Carita Parahiyangan mencela sikap Ratu Dewata karena ia melakukan cara tapa yang tidak sesuai dengan tugasnya sebagai raja dalam keadaan negara terancam musuh.

3. Panca parisuda
Panca parisuda mengandung arti Lima Obat Penawar. Ini kaitannya dengan sikap menerima Celaan atau Kritik. "lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih" (bila ada yang mengkritik kepada kita, terimalah kritik orang lain itu) Anggaplah:

- ibarat kita sedang dekil menemukan air untuk mandi
- ibarat kita sedang burik ada orang yang meminyaki
- ibarat kita sedang lapar ada orang yang memberi nasi
- ibarat kita sedang dahaga ada orang yang mengantarkan minuman
- ibarat kita sedang kesal datang orang yang membawakan sirih-pinang (sepaheun)
Dengan sikap seperti itu dikatakannya
"kadyangga ning galah cedek tinugalan teka"
(sama halnya dengan galah sodok dipapas runcing)
[Galah cedek (bambu runcing) makin pendek makin baik karena
kemungkinan patah makin berkurang. Dengan kritik akal budi
kita akan menjadi makin kukuh dan tajam]
"lamun makasuka urang kangken pare beurat sangga"
(kalau senang menerima kritik orang, kita akan seperti padi yang runduk karena berat
berisi)

4. Hidup yang penuh berkah
Pelengkap hidup agar selamat dalam kehidupan dan mendapat berkah dalam rumah tangga harus
- cermat (emet)
- teliti (imeut)
- rajin (rajeun)
- tekun (leukeun)
- cukup sandang (paka predana)
- bersemangat (morogol-rogol)
- berpribadi pahlawan (purusa ningsa)
- bijaksana (widagda)
- berani berkurban (hapitan)
- dermawan (waleya)
- gesit (cangcingan)
- cekatan (langsitan)

Prinsip hidupnya adalah Tidak menyusahkan orang lain, hidup berkecukupan, tetapi tidak berlebihan.

"Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba
ponyo, ulah urang kajongjonan"

(Hendaknya kita ingat, bahwa tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar pelepas haus, makan sekedar penghilang lapar, jangan kita berlebihan)

5. Parigeuing dan dasa pasanta
Hidup yang cukup itu harus disertai tiga kemampuan (tri"geuing), yaitu
Geuing, Upageuing dan Parigeuing.

Geuing adalah "bisa ngicap ngicup dina kasukaan"
(bisa makan dan minum dalam kesenangan)

Upageuing aadalah "bisa nyandang bisa nganggo, bisa babasahan bisa dibusana"
(bisa berpakaian, bisa punya cadangan pakaian bila yang lain dicuci, bisa berdandan)
Parigeuing adalah "bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawanginya mana hanteu surah nu dipiwarang"
(bisa memberi perintah, bisa menyuruh karena tutur bahasa yang manis sehingga orang yang disuruh tidak merasa jengkel hatinya)
Parigeuing memerlukan dasa pasanta (10 cara penenang), yaitu
  1. bijaksana (guna) 
  2. ramah (rama) 
  3. sayang (hook) 
  4. memikat (pesok) 
  5. kasih (asih) 
  6. iba hati (karunya) 
  7. membujuk (mupreruk) 
  8. memuji (ngulas) 
  9. membesarkan hati (nyecep) 
  10. mengambil hati (ngala angen)
 Tujuan dari hal di atas adalah
"nya mana suka bungah padang-caang nu dipiwarang"
(agar senang dan penuh kegairahan orang yang di suruh)
Betapapun harus kita akui, bahwa seseorang menjalankan perintah dengan penuh rasa senang dan gairah, prestasinya akan maksimal. Yang penting terutama adalah janganlah kita mengabaikan harga diri seseorang.

6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)
Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tongak kehidupan, yaitu

- RAMA (pendiri kampung yang menjadi pemimpin masyarakat dan keturunannya yang mewarisi jabatan itu),
- RESI (Ulama atau pendeta)
- PRABU (raja, pemegang kekuasaan)

Dalam naskah dianjurkan agar orang berusaha memiliki:
- bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja)
- sabda pinaka rama (ucapan seorang rama)
- hedap pinaka resi (tekad seorang resi)
Tugas ketiga tokoh itu dalam kropak 632 ditegaskan

"jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu"
(urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab raja/ pemegang kekuasaan).
Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena "pada pawitannya, pada muliyana" (sama asal-usulnya, sama mulianya). Oleh karena itu diantara ketiganya
"haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang,
haywa paala-ala demakan.
Maka pada mulia ku ulah,
ku sabda ku hedap si niti,
si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan,
ngalap kaswar, semu guyu,
tejah ambek guru basa dina urang sakabeh,
tuha kalawan anwam"

(jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda).

Tritangtu sebagai sistem kepemimpinan itu masih dilaksanakan di Kanekes. Orang Baduy menyebutnya Tangtu Telu (tritangtu). Ketiga orang Puun di Kanekes masing-masing menempati posisi Resi (Puun Cikertawana), Rama (Puun Cikeusik) dan Ponggawa (Puun Cibeo). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga Puun itu berkuada penuh di daerah masing-masing. Tetapi dalam hal umum menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu telu itu berlaku.

Pada dasarnya ketiga posisi itu terdapat pula dalam masyarakat kita sekarang, yaitu Pemuka Masyarakat, Ulama dan Pemerintah. Apa yang diharapkan dari trio itu pada jaman Siliwangi, rasanya masih diharapkan juga dewasa ini. Tradisi tidak selamanya "usang". Anggap sajalah semua itu "wangsit Siliwangi" karena memang ditulus sebagai "perudang-undangan" pada jamannya.
Bagian akhir naskah Siskandang Karesian berisi anjuran agar orang tua tidak mengawinkan anak-anaknya yang masih di bawah umur "hanteu yogya mijodohkeun bocah, bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu ngajadikeun" (Tidak layak mengawinkan anak kecil, agar tidak terbawa salah, agar tidak merepotkan yang menjodohkan).

Bila kita perhatikan ajaran moral dalam jaman Siliwangi melalui naskah tersebut, mengertilah kita mengapa sikap Ratu Dewata, Ratu Sakti dan Nilakendra sangat dicela oelh penulis Carita Parahiyangan "Aja tinut de sang karuwi polah sang nata" (jangan ditiru oleh yang kemudian kelakuan raja ini). Itulah beberapa warisan nilai budaya dari jaman Siliwangi yang sekarang pun tampaknya masih bisa dimanfaatkan sebagai Seuweu-Siwi Siliwangi.

Catetan : Drs.Asep Idjuddin (Pimpinan Umum Majalah Sunda SALAKA ONLINE –www.salaka.net.


REFERENSI :
Ayatrohaedi, 2005 Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” CirebonJakarta.: Pustaka Jaya.
Saleh Danasasmita, 2003, Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwang, Bandung.: Kiblat Buku Utama.
Yoseph Iskandar, 1997, Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar