Online


Get this .

Animasi

Home

Rabu, 24 Desember 2014

SEJARAH KOTA TASIKMALAYA



SEJARAH KOTA TASIKMALAYA
Sejarah
Diposting tanggal: 03 September 2013
Sejarah berdirinya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonomi tidak terlepas dari sejarah berdirinya kabupaten Tasikmalaya sebagai daerah kabupaten induknya. Maka rangkaian sejarah ini merupakan bagian dari rangakaian perjalanan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya sampai terbentuknya Pemerintah Kota Tasikmalaya.

Pada waktu A. Bunyamin menjabat sebagai Bupati Tasikmalaya tahun 1976 sampai dengan 1981 tonggak sejarah lahirnya kota Tasikmalaya dimulai denngan diresmikannya Kota Administratif Tasikmalaya melalui peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1976 oleh Menteri Dalam Negeri H. Amir Machmud. Periwtiwa ini di tandai dengan penandatangan Prasasti yang sekarang terletak di depan gedung DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Pada waktu yang sama dilantik pula Walikota Administratif Pertama yaitu Drs. H. Oman Roosman oleh Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat H. Aang Kunaefi.

Pada awal pembentukannya, wilayah kota Administratif Tasikmalaya meliputi 3 Kecamatan yaitu Cipedes, Cihideung dan Tawang dengan jumlah desa sebanyak 13 desa.

Berikut ini urutan pemegang jabatan Walikotatif Tasikmalaya dari terbentuknya kota administratif sampai menjelang terbentuknya pemerintah Kota Tasikmalaya :

 1
 Oman Roesman (1976-1985)

 2
 Yeng Ds. Partawinata (1985-1989)

 3
 R. Y. Wahyu (1989-1992)

 4
 Erdhi Hardhiana (1992-1999)

 5
 Bubun Bunyamin (1999-2007)

 6
 Syarif Hidayat (2007-2012)

 7
 Drs. H. Budi Budiman (2012-2017)
Berkat perjuangan unsur Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya yang dipimpin Bupati saat itu H. Suljana WH beserta tokoh masyarakat Kabupaten Tasikmalaya dirintislah pembentukan Kota Tasikmalaya dengan lahirnya tim sukses pembentukan Pemerintahan Kota Tasikmalaya yang diketuai oleh H. Yeng Ds. Partawinata SH. bersama tokoh - tokoh masyarakat lainnya. Melalui proses panjang akhirnya dibawah pimpinan Bupati Drs. Tatang Farhanul Hakim, pada tanggal 17 Oktober 2001 melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001, Kota Tasikmalaya diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden RI di Jakarta bersama-sama dengan kota Lhoksumawe, Langsa, Padangsidempuan, Prabumulih, Lubuk Linggau, Pager Alam, Tanjung Pinang, Cimahi, Batu, Sikawang dan Bau-bau.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya, telah mengantarkan Pemerintah Kota Administratif Tasikmalaya melewati pintu gerbang Daerah Otonomi Kota Tasikmalaya untuk menjadi daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri.

Pembentukan Pemerintah Kota Tasikmalaya tak lepas dari peran serta semua pihak maupun berbagai steakholder di daerah Kota Tasikmalaya yang mendukung pembentukan tersebut. Tentunya dengan pembentukan Kota Tasikmalaya harus ditindak lanjuti dengan menyediakan berbagai prasarana maupun sarana guna menunjang penyelenggaraan Pemerintah Kota Tasikmalaya.

Berbagai langkah untuk mempersiapkan prasarana, sarana maupun personil serta komponen-komponen lainnya guna menunjang penyelengaraan Pemerintahan Kota Tasikmalaya telah dilaksanakan sebagai tuntutan dari pembentukan daerah otonom itu sendiri.
Pada tanggal 18 Oktober 2001 pelantikan Drs. H. Wahyu Suradiharja sebagai PJ Walikota Tasikmalaya oleh Gubernur Jawa Barat dilaksanakan di Gedung Sate Bandung. Sesusuai Undang-Undang No. 10 Tahun 2001 bahwa wilayah Kota Tasikmalaya terdiri dari 8 Kecamatan dengan jumlah Kelurahan sebanyak 15 dan Desa sebanyak 54, tetapi dalam perjalanannya melalui Perda No. 30 Tahun 2003 tentang perubahan status Desan menjadi Kelurahan, desa-desa dilingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya berubah statusnya menjadi Kelurahan, oleh karena itu maka jumlah kelurahan menjadi sebanyak 69 kelurahan, sedangkan kedelapan kecamatan tersebut antara lain :

1. Kecamatan Tawang
2. Kecamatan Cihideung
3. Kecamatan Cipedes
4. Kecamatan Indihiang
5. Kecamatan Kawalu
6. Kecamatan Cibeureum
7. Kecamatan Mangkubumi
8. Kecamatan Tamansari 
9. Kecamatan Purbaratu (baru)
10. Kecamatan Bungursari (baru)

Sebagai salah satu syarat Pemerintah Daerah Otonom diperlukan alat kelengkapan lainnya berupa Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Melalui surat keputusan No. 133 Tahun 2001 Tanggal 13 Desember 2001 Komisi Pemilihan Umum membentuk Panitia Pengisian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat KotaTasikmalaya (PPK-DPRD). Melalui proses dan tahapan-tahapan yang dilaksanakan PPK-DPRD Kota Tasikmalaya yang cukup panjang, maka pengangkatan anggota DPRD Kota Tasikmalaya disyahkan melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 171/Kep.380/Dekon/2002 Tanggal 26 April 2002, selanjutnya tanggal 30 April 2002 diresmikannya keanggotaan DPRD Kota Tasikmalaya yang tetama kali.
Pada tanggal 14 November 2002 dilantiknya Bp. Drs. H. Bubun Bunyamin sebagai Walikota Tasikmalaya, pelantikan Walikota tersebut adalah segabai puncak momentum dari pemilihan Kepala Daerah pertama di Kota Tasikmalaya sebagai hasil dari Tahapan proses pemilihan yang dilaksanakan oleh Legislatif. Top of FormTop of Form
        (diambil dari blog kota tasikmalaya)

Selasa, 23 Desember 2014

Mengenal Tokoh-tokoh Sastra Sunda



Mengenal Tokoh-tokoh Sastra Sunda

SEJAUH dapat dilacak, buku atau penelitian tentang tokoh sastra Sunda yang telah diusahakan masih bisa dihitung jari. Sekadar contoh, penelitian Tini Kartini dkk. yang berjudul Biografi dan Karya Sastrawan Sunda Masa 1945-1965
(1978), Yuhana dengan Sastrawan Sunda (1979), Daéng Kanduruan Ardiwinata, Sastrawan Sunda (1979), dan Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa (1985). Juga Ajip Rosidi dengan Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana (1989). Adapun yang paling mutakhir adalah Ensiklopedi Sunda (2000) dan Apa Siapa Orang Sunda (2003) yang keduanya karya Ajip Rosidi dkk.

Dari dokumen yang sedikit itulah, untuk sementara dapat dibentangkan kiprah beberapa tokoh sastra Sunda. Menurut pengamatan saya, sedikitnya ada 16 tokoh yang berpengaruh dalam sastra Sunda yang mewakili zaman dan genre karya yang dihasilkannya. Adapun pemilihan dan penempatan urutan tokoh diniati hanya mengenalkan saja, tidak untuk menilai, apalagi mengesampingkan tokoh lain. Pertimbangannya pun didasarkan pada popularitas dan dominasi hasil karya yang besar pengaruhnya dalam jagat sastra Sunda.

Tokoh pertama dan kedua adalah P. H. H. Mustapa (1852-1930) dan Muh. Musa (1822-1886). Keduanya tokoh sastra Sunda terbesar pada zaman kolonial yang banyak menulis dangding dan wawacan. Sekitar tahun 1900-an, misalnya, P.H.H. Mustapa sempat menulis lebih dari 10.000 bait dangding yang kualitas literernya dianggap bermutu tinggi. Selain itu ia pun banyak menulis anekdot dan prosa. Namun kebesarannya baru disebut-sebut pada tahun 1950-an oleh Ajip Rosidi, yang selanjutnya memicu para peneliti untuk mendalaminya. Tahun 1965 P. H. H. Mustapa mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat dan pada tahun 1977 Presiden RI memberikan Anugerah Seni kepadanya sebagai sastrawan daerah Sunda.

Sedangkan Muh. Musa (1822-1886) adalah pelopor sastrawan Sunda pada paruh kedua abad 19. Karya-karyanya dalam bentuk wawacan (11 judul) danprosa (33 judul), baik asli maupun terjemahan, banyak diterbitkan pemerintah kolonial pada waktu itu. Wawacan "Panji Wulung", merupakan salah satu karyanya yang cukup populer di masyarakat Sunda. Berkat jasa dan hubungannya yang baik dengan pemerintah kolonial, Muh. Musa sempat memperoleh medali emas. Muh. Musa pun banyak mengusahakan buku bacaan berbahasa Sunda. Menurut catatan Moriyama (2005), Muh. Musa sedikitnya menerbitkan 14 judul buku yang dicetak pada zaman pemerintah kolonial.

Tokoh ketiga dan keempat adalah D.K. Ardiwinata (1866-1947) dan Yuhana. Keduanya tokoh sastra Sunda pada zaman Balai Pustaka yang banyak menulis novel. Baruang ka nu Ngarora (1914) adalah novel pertama berbahasa Sunda yang ditulis oleh D.K. Ardiwinata. Selain itu ia pun menulis dongeng dan banyak menyadur karya-karya pengarang dunia.

Pemikirannya yang terpenting adalah bahwa orang Sunda harus banyak menulis prosa ketimbang puisi (dangding) yang sering kali merusak bahasa karena hendak memenuhi aturan pupuh. Adapun Yuhana (nama aslinya Achmad Bassach) adalah pengarang novel Sunda yang karya-karyanya setia diterbitkan oleh penerbit swasta. Tidak tercatat satu pun novelnya yang diterbitkan Balai Pustaka. Novel populernya yang pertama adalah Carios Eulis Acih (1923). Novel tersebut menuai sukses besar pada waktu itu dan sempat dibuat film. Setelah itu keluar novelnya yang lain, seperti Neng Yaya (1923), Agan Permas (1926), dan yang paling terkenal Rasiah nu Goréng Patut (1928) atau lebih dikenal dengan Karnadi Anémer Bangkong karena tokoh utamanya bernama Karnadi.

Novel ini dikarang bersama dengan Sukria serta pernah dibuat film. Hal yang membuat Yuhana dapat digolongkan sebagai pembaru sastra Sunda karena karya-karyanya dapat hidup di luar bayang-bayang Balai Pustaka. Meski berbeda gaya dalam berkarya, keduanya berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan novel.

Tokoh kelima dan keenam adalah GS dan Tini Kartini (lahir 1933-sekarang). Menurut M.A. Salmun, GS bernama lengkap G. Sastradiredja. Namun menurut R. Éro Bratakusumah, GS bernama lengkap G. Soewandakoesoemah. GS adalah pelopor penulisan cerpen berbahasa Sunda. Dogdog Pangréwong (1930) adalah kumpulan cerpennya yang pertama dalam bahasa Sunda dan merupakan kumpulan cerpen yang pertama terbit di Indonesia. Isinya delapan cerpen bernada humor yang dialog antartokohnya terasa hidup.

Selain menulis cerpen, GS pun menulis karangan lepas dalam majalah Parahiangan. Adapun Tini Kartini dapat disebutkan sebagai pengarangwanita cukup kuat dalam cerpen Sunda. Kumpulan cerpennya yang pertama terbit ialah Jurig!, Paméran, dan Nyi Karsih. Selain itu Tini Kartini banyak melakukan penelitian tentang sastra dan sastrawan Sunda. Meskipun keduanya berbeda zaman, namun dalam hal kepengarangannya, baik GS maupun Tini Kartini termasuk tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan cerpen.

Tokoh ketujuh dan kedelapan adalah Kis Ws (1922-1995) dan Sayudi (1932-2000). Keduanya pelopor dan pembaru dalam penulisan sajak Sunda. Kis Ws adalah orang Sunda pertama yang menulis sajak Sunda sekitar tahun 1950-an. Sempat terjadi polemik ketika sajaknya untuk pertama kali dimuat dalam Sk. Sipatahunan, karena pada waktu itu orang Sunda lebih mengenal dangding. Selain menulis sajak, Kis Ws pun banyak menulis cerpen dan esai. Adapun Sayudi banyak disebut sebagai penulis sajak epik pertama dalam sastra Sunda. Lalaki di Tegal Pati (1962) merupakan buku kumpulan sajak karya Sayudi dan pertama dalam sastra Sunda. Setelah itu Sayudi mengeluarkan kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Madraji (1983). Banyak ahli menyebutkan bahwa Madraji merupakan carita pantun modern, karena bentuknya seperti paduan antara sajak dan carita pantun. Kis Ws dan Sayudi merupakan tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan sajak.

Tokoh kesembilan dan kesepuluh adalah RAF (1929-2008) dan R.H. Hidayat Suryalaga (1941-sekarang). Keduanya sastrawan yang banyak menulis naskah drama, atau setidaknya mempunyai perhatian yang luas terhadap dunia teater. RAF (Haji Rahmatullah Ading Affandie) disebut-sebut sebagai pelopor dalam drama Sunda modern. Lewat jasa-jasanya kita pernah melihat gending karesmen dan drama berbahasa Sunda muncul pertama kalinya di layar kaca TVRI. "Inohong di Bojongrangkong" adalah judul sinetron (?) garapannya yang cukup melegenda dan sangat dipikalandep oleh penonton TVRI pada masanya. Ditayangkan sebulan sekali sampai 110 episode.

R.H. Hidayat Suryalaga banyak menulis naskah gending karesmen, longser, dan drama berbahasa Sunda. Penelitian Agus Suherman (1998) mencatat lebih dari 25 naskah gending karesmen, longser, dan drama yang sudah ditulis R.H. Hidayat Suryalaga. Di antara naskah drama yang paling kuat adalah "Sanghyang Tapak", "Cempor", dan "Setatsion Para Arwah". R.H . Hidayat Suryalaga termasuk tokoh yang memelopori berdirinya Teater Sunda Kiwari (1975) dan berhasil menerjemahkan Alquran ke dalam bentuk pupuh. Keduanya bolehlah disebut tokoh berpengaruh dalam penulisan naskah drama dan gending karesmen.

Tokoh kesebelas dan keduabelas adalah Ajip Rosidi (1938-sekarang) dan Duduh Durahman (1939-sekarang). Keduanya kritikus kuat dalam sastra Sunda. Ajip Rosidi dipandang sebagai tokoh kritis, frontal, dan pemberani dalam berpolemik. Banyak esai kritik yang telah ditulisnya, di antaranya dikumpulkan dalam buku Dur Panjak! (1967), Dengkleung Déngdék (1985), Hurip Waras! (1988), dan Trang-trang Koléntrang (1999). Selain itu Ajip Rosidi pun banyak berkiprah dalam dunia penerbitan. Namun pekerjaanraksasanya dalam dunia sastra Sunda antara lain penelitian tentang folklor dan pantun Sunda, penyusunan Ensiklopedi Sunda, pemrakarsa Konferensi Internasional Budaya Sunda I, dan sejak tahun 1989 secara rutin memberikan Hadiah Rancagé untuk sastrawan berbahasa Sunda.

Adapun Duduh Durahman, banyak menulis kritik terhadap sastra Sunda. Karya kritiknya telah dikumpulkan dalam Catetan Prosa Sunda (1984) dan Sastra Sunda Sausap Saulas (1991). Selain itu Duduh Durahman pun banyak menulis cerpen dan setia mengasuh rubrik sastra di majalah Manglé. Duduh Durahman pun dikenal sebagai aktor dan kritikus film. Maka meskipun tidak sejajar dalam produktivitas berkarya dan aktivitas kegiatan, keduanya tokoh berpengaruh terutama dalam penulisan kritik sastra.

Tokoh ketigabelas dan keempatbelas adalah Wahyu Wibisana (1935-sekarang) dan Yus Rusyana (1938-sekarang). Keduanya praktisi sekaligus akademisi sastra Sunda yang banyak menulis sajak, prosa, maupun drama dalam bahasa Sunda. Sebagai akademisi, keduanya memang seorang pendidik dan peneliti. Wahyu Wibisana, misalnya, pernah menjadi guru SD dan dosen tamu di IKIP Bandung. Selain itu Wahyu pun banyak melakukan penelitian dalam bidang sastra Sunda, menyusun kurikulum mata pelajaran bahasa dan sastra Sunda, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menulis berbagai makalah tentang sastra Sunda yang disampaikan dalam forum pendidikan.

Yus Rusyana adalah guru besar bahasa dan sastra Indonesia dan Sunda pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Banyak melakukan penelitian, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menyampaikan prasaran dalam forum ilmiah. Beliaulah sastrawan Sunda yang pertama mendapat hadiah Rancagé lewat karyanya Jajatén Ninggang Papastén (1989). Selain sebagai sastrawan, keduanya dapat ditempatkan sebagai tokoh akademisi dalam sastra Sunda.

Tokoh kelimabelas dan keenambelas adalah Godi Suwarna (1956-sekarang) dan Etty R.S. (1958-sekarang). Keduanya pengarang sajak Sunda yang sangat potensial. Godi Suwarna pernah menggemparkan jagat Sunda berkat sajak-sajaknya yang dekonsturktif. Kata-kata dalam sajak-sajak Godi punya idiom bahasa Sunda yang khas. Idiom tersebut merupakan paduan antara bahasa Sunda lulugu, dialek, dan populer. Selain piawai menulis, Godi juga sangat terampil membaca sajak.

Adapun Etty R.S. merupakan pengarang wanita dalam sajak Sunda yang kuat dalam memilih diksi. Sajak-sajaknya realistis dan sedikit arkhais. Banyak yang menyatakan bahwa Etty pelopor pengarang wanita dalam menulis sajak Sunda kontemporer. Baik Godi maupun Etty R.S., keduanya merupakan pelopor dalam penulisan sajak Sunda kontemporer. Di tangan Godi dan Etty, sajak Sunda dapat disukai oleh remaja dan anak-anak sekolah. Terbukti dalam setiap perlombaan deklamasi sajak Sunda antarpelajar, sajak Godi dan Etty selalu menjadi sajak wajib untuk dideklamasikan.

Itulah 16 tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda. Dari jumlah tersebut, beberapa di antaranya sempat mendapat hadiah Rancagé, Yus Rusyana untuk karya (1989) dan jasa (2000), RAF untuk karya (1991) dan jasa (1998), Godi Suwarna untuk karya (1993, 1996, 2008), Kis Ws untuk jasa (1993), Sayudi untuk jasa (1994), Etty RS untuk karya (1995), Wahyu Wibisana untuk jasa (1997), Duduh Durahman untuk jasa (1999), dan Tini Kartini untuk jasa (2003).

Sebenarnya masih banyak tokoh sastra Sunda lainnya yang berpengaruh. Sebutlah, antara lain R. Méméd Sastrahadiprawira, Moh. Ambri, Ki Umbara, Sjarif Amin, Muh. Rustandi Kartakusuma, Abdullah Mustapa, Yoseph Iskandar, H. Rusman Sutiasumarga, Dedy Windyagiri, Holisoh MÉ, dan Tatang Sumarsono. Dengan demikian, maka apa yang dapat dilakukan? Kiranya harus ada tulisan tentang 100 tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda. ***

* Deni Hadiansah, Mahasiswa S-2 Kajian Sastra Kontemporer Unpad Bandung, pengasuh acara "Ngamumulé Basa Sunda" di RRI Bandung, aktif di Yayasan Atikan Sunda (YAS) Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 24 Mei 2008

Kamis, 06 November 2014

WAKTU / WANCI JEUNG USUM DINA BASA SUNDA

Urang Sunda, utamana mah nu hirup dijaman baheula ("Baheula" didieu sahenteuna nepika jamanna Almarhum pun Bapa jumeneng kénéh), boga sebutan anu Khas keur nangtukeun atawa nyebutkeun waktu dina sapopoé, atawa sebutan keur mangsa usum-usuman.
Kulantaran beuki majuna jaman jeung beuki saeutik nu maké sebutan wanci dina basa Sunda, sebutan-sebutan wanci téh beuki ngaleungit, lantaran jelema modérn mah leuwih gampang nginget-nginget "Jam 8 isuk-isuk" tinimbang "wanci haneut moyan". Tah dumasar kana hal éta, kuring rék medar sebutan-sebutan wanci jeung usum dina basa Sunda, nu meunang nyutat ti Wikipedia (Alhamdulillah, aya nu masih kénéh inget jeung daék nulis kabudayaan basa Sunda di dunya nu geus sagala modérn kieu)

Ngaran-Ngaran Waktu Dina Sapoé Sapeuting Dumasar Kana Kajadian Alam
  • Wanci tumorék, nya éta wanci keur meujeuhna saré tibra (kira-kira tabuh 00.30)
  • Wanci janari sapi, kira-kira tabuh 01.00
  • Wanci janari leutik, nya éta wanci liwat tengah peuting (kira-kira tabuh 01.30)
  • Wanci janari gedé, kira-kira tabuh 02.00
  • Wanci disada rorongkéng, nya éta wanci disada kongkorongok hayam sakali (kira-kira tabuh 02.30)
  • Wanci haliwawar, nya éta wanci disada kongkorongok hayam dua kali (kira-lira tabuh 03.00-03.30)
  • Wanci janari, kira-kira tabuh 04.00
  • Wanci balébat, nya éta udat-udat beulah wétan dina waktu rék pajar (kira-kira tabuh 05.00)
  • Wanci carancang tihang, nya éta wanci liwat pajar, téténjoan remeng-remeng kénéh (kira-kira tabuh 05.30)
  • Wanci murag ciibun/meleték sarangéngé, nya éta wanci mimiti témbong panonpoé, ciibun nu ngagarenclang dina dangdaunan mimiti murag (kira-kira tabuh 07.00)
  • Wanci haneut moyan, nya nya éta wanci keur sedeng dipaké moyan (kira-kira tabuh 08.00)
  • Wanci rumangsang, nya éta wanci sabada haneut moyan panonpoé mimiti karasa panas (kira-kira tabuh 09.00)
  • Wanci pecat sawed, kira-kira tabuh 10.00 (munding nu dipaké magawé dilaanan/dipecat sawedna tina beuheung munding nu narik wuluku/garu), di tempat-tempat panas tabuh 10.00, di tempat-tempat nu hawana tiis tabuh 11.00
  • Wanci manceran/tengah poé, nya éta panonpoé aya di luhureun embun-embunan; panonpoé keur meujeuhna mancer (kira-kira tabuh 12.00)
  • Wanci lingsir ngulon, nya éta wanci panonpoé ngésér ka kulon (kira-kira tabuh 14.00)
  • Wanci panonpoé satungtung, nya éta waktu panonpoé satungtung (kira-kira tabuh 15.00)
  • Wanci tunggang gunung, nya éta waktu panonpoé geus rék surup ayana dina luhureun gunung (kira-kira tabuh 16.00-17.00)
  • Wanci sariak layung, nya éta wanci layung di langit katénjo beureum (kira-kira tabuh 17.00-18.00)
  • Wanci érang-érang, nya éta waktu panonpoé rék surup (kira-kira tabuh 17.30-18.00)
  • Wanci sareupna/harieum beungeut, nya éta waktu geus mimiti reup poék (kira-kira tabuh 18.00-18.30)
  • Wanci sareureuh gaang, nya éta waktu gaang eureun disada (kira-kira tabuh 19.00)
  • Wanci sareureuh budak, nya éta waktu barudak leutik geus mimiti saré (kira-kira tabuh 21.00)
  • Wanci sareureuh kolot, nya éta waktu kolot mangsana reureuh (kira-kira tabuh 22.00)
  • Wanci tengah peuting, kira-kira tabuh 24.00.

Sesebutan Waktu Dumasar Kana Waktu Ibadah
  • Pajar, kira-kira tabuh 04.00 waktu rék meleték panonpoé
  • Imsak, kira-kira 10 menit saméméh waktu subuh
  • Subuh, kira-kira tabuh 04.30-05.00
  • Duha, kira-kira tabuh 08.00-09.00
  • Lohor, kira-kira tabuh 12.00
  • Bada lohor, kira-kira tabuh 12.30-13.00, waktu sanggeus kadéngé bedug lohor
  • Asar, kira-kira tabuh 15.30
  • Magrib, kira-kira tabuh 17.30-18.00, waktu geus mimiti poék pikeun ngalaksanakeun sholat magrib
  • Bada magrib, kira-kira tabuh 18.00-19.00, waktu saréngséna sholat magrib
  • Isa, kira-kira tabuh 19.00, waktu pikeun ngalaksanakeun sholat isa
  • Bada isa, kira-kira tabuh 19.00-20.00, waktu sanggeus ngalaksanakeun sholat isa.

Sesebutan Waktu nu Patali jeung Poé
  • Isuk-isuk, kira-kira tabuh 05.00-10.00, wanci bada subuh nepi ka kira-kira pecat sawed
  • Beurang, nya éta ti mimiti meleték panonpoé nepi ka surupna
  • Pabeubeurang, kira-kira tabuh 11.00-14.30, waktu sabada pecat sawed nepi ka waktu panon poé satungtung
  • Pasosoré, kira-kira tabuh 15.00-18.00, waktu sabada panon poé satungtung nepi ka waktu sareupna
  • Peuting, nya éta waktu ti barang surup panonpoé nepi ka meletékna deui
  • Poé ieu, nya éta waktu anu ayeuna keur dilakonan
  • Isukan, nya éta sapoé nu bakal datang
  • Pagéto, nya éta heuleut sapoé ti ayeuna ka hareup (dua poé nu bakal datang)
  • Pagéto amat, nya éta heuleut dua poé ti ayeuna ka hareup (tilu poé nu bakal datang)
  • Kamari, nya éta poé nu geus kaliwat sapeuting
  • Mangkukna, nya éta kamarina, heuleut sapoé ka tukang (poé nu geus kaliwat dua poé)
  • Tilu poé ka tukang, nya éta waktu nu geus kaliwat tilu poé.

Waktu nu Patali jeung nu Geus Kalakon
  • Ayeuna, nya éta waktu nu keur dilampahan
  • Bieu, nya éta waktu nu cikénéh karangdapan
  • Cikénéh, nya éta panuduh waktu nu geus kaliwat, pandeurieun bieu
  • Tadi, nya éta waktu nu can lila kaliwatna
  • Engké/mangké, nya éta nuduhkeun waktu (deukeut nu bakal kasorang).

Sesebutan Waktu nu Patali jeung Jaman
  • Kiwari, nya éta jaman nu keur dilakonan ayeuna
  • Baréto, nya éta jaman nu geus lila kaliwat
  • Baheula, nya éta jaman nu geus lilia kaliwat béh ditueun baréto
  • Bihari, nya éta jaman nu geus kaliwat lila pisan
  • Jaga, nya éta jaman nu lila kénéh bakal kasorang
  • Isuk jaganing géto (pagéto), nya éta jaman nu moal lila bakal kasorang
  • Baring supagi, nya éta isuk jaganing géto, dina waktu nu bakal datang.

Sesebutan Waktu Séjénna
  • Sakiceup, nuduhkeun waktu nu sakeudeung pisan
  • Sakedét, nuduhkeun waktu nu sakeudeung pisan
  • Sakilat, nuduhkeun waktu nu sakeudeung pisan, diupamakeun kana liana kilat nu ngaburinyay
  • Saharita, waktu éta atawa harita kénéh
  • Sajongjongan, nuduhkeun waktu sawatara sekon
  • Sakedupan, nuduhkeun waktu saharita, jero sawatara sekon
  • Sapanyeupahan, nuduhkeun waktu nu teu sabaraha lilana, kira-kira lilana sarua jeung nu keur nyeupah
  • Sapangéjoan, nuduhkeun waktu nu rada lila, kira-kira lilana sarua jeung nu keur ngéjo (nyangu)
  • Sapoé sapeuting, nuduhkeun waktu anu lilana dua puluh opat jam
  • Saminggu, nuduhkeun waktu anu lilana tujuh poé
  • Sabulan, nuduhkeun waktu anu lilana opat minggu (28,29,30 atawa 31 poé)
  • Sabulan campleng, nuduhkeun waktu anu lilana sabulan jejeg
  • Saumur jagong, nuduhkeun waktu anu lilana sarua jeung umur melak jagong, kira-kira tilu bulan satengah
  • Sausum, nuduhkeun waktu anu dicirian ku sakali usum, upamana usum hujan, usum kadu
  • Sataun, nuduhkeun waktu anu lilana dua welas bulan
  • Sataun landung, nuduhkeun waktu anu lilana dua welas bulan leuwih
  • Sawindu, nuduhkeun waktu anu lilana dalapan taun
  • Saabad, nuduhkeun waktu anu lilana saratus taun
  • Samilénium, nuduhkeun waktu anu lilana sarébu taun.

Usum-Usuman
Usum-usuman nya éta waktu anu nuduhkeun usum atawa waktu nu tangtu, upamana waé usum hujan, usum kadu.Usum-usuman bisa dibagi sababaraha waktu, saperti dihandap ieu.

Waktu nu Patali jeung Kayaan Alam
  • Usum mamaréng, nya éta usum mimiti ngijih
  • Usum ngijih, nya éta waktu mindeng turun hujan
  • Usum dangdarat, nya éta usum panyelang antara ngijih jeung katiga, hujan jeung halodo kakapeungan
  • Usum katiga, nya éta usum halodo, usum teu hujan
  • Usum barat, nya éta usum angin grdénu jolna ti kulon, pacampur jeung hujan
  • Usum selatan, nya éta usum loba angin nu jolna ti kidul-wétan.

Waktu Nu patali jeung Kaayaan nu aya di Masarakat
  • Usum ngagebug, nya éta usum loba nu gering parna, loba nu maraot
  • Usum sasalad, nya éta usum loba panyakit nu babari tépa
  • Usum parepok, nya éta usum loba nu kawin
  • Usum paceklik, nya éta usum kurang dahareun, pangpangna béas atawa paré, usum paila
  • Usum tigerat, nya éta usum paceklik
  • Usum nguyung, nya éta usum paceklik.

Waktu nu Patali jeung Tatanén di Sawah
  • Usum nyambut, nya éta mangsa ngagarap sawah
  • Usum tebar, nya éta mangsa ngawurkeun binih kana pabinihan
  • Usum tandur, nya éta mangsa melak binih parénu tos jadi di kotakan sawah
  • Usum ngarambét, nya éta mangsa miceunan jukut nu jaradi antara tangkal paré di sawah
  • Usum celetu, nya éta mangsa siki paré geus mimiti cul-cel baruahan
  • Usum beukah, nya éta mangsa paré areusian, bareukah
  • Usum rampak, nya éta mangsa paré geus rampak kaluar humbutna
  • Usum beuneur héjo, nya éta mangsa paré geus beuneur tapi masih kénéh héjo
  • Usum pibuateun, nya éta mangsa paré ngadagoan waktu nu mustari pikeun dipanén
  • Usum panén, nya éta mangsa paré diala (dibuat).

Waktu nu Patali jeung Tatanén di Huma
  • Usum nyacar, nya éta mangsa nyacar leuweung pihumaeun
  • Usum ngahuru, nya éta mangsa ngaduruk kai jeung kakayon séjénna
  • Usum ngaseuk, nya éta mangsa melak paré huma
  • Usum ngoréd/ngoyos, nya éta mangsa meresihan jukut nu jaradi antara luwukan paré ku koréd
  • Usum dibuat/ngétém, nya éta mangsa ngala paré (maké étém).
Mugia tuisan ieu sahenteuna bisa ngajadikeun pangéling pikeun urang Sunda khususna, yén nyatana basa Sunda téh sakitu beungharna. Hatur nuhun.... :)

"PAMALI"

Baheula, jaman keur budak. Sok remen diwawadianan ku kolot; "Mun ngala suluh ka leuweung, teu meunang nuar dahan kai nu ngarandakah. Pangpungna gé teu meunang diala. Iwal nu ragrag, nu ngagolér, mulung pangpung disebutna!" "Naha?", céngtéh. Jawabna téh pondok pisan; "Pamali!", cenah. Komo wani nuar kai nu jadi di sirah cai, waaah dipahing pisan! Ari alesanna téh angger, "Pamali!".

Bakat ku panasaran, akang nanyakeun alesan nu satemenna. Heu da kecap "Pamali" mah teu kaharti ku pikir. Ari jawabna téh méngkol kana urusan "kapercayaan", pajarkeun téh; "Bisi nu ngageugeuh dina taneuh nu geus maneuh, kasigeung. Bisi nu ngancik di sirah cai, kabetrik. Bisi nu mangkuk mangtaun-taun dina rungkun, kabadug. Bisi nu ngawasa di éta patempatan, kadupak. Antukna, malik teu suka. Narajang dadak-dadakan, ngalawan teu kanyahoan. Akibatna, matak cilaka, malah rambat kamalé ka balaréa.

Komo leuweung geledegan mah nu langka kasaba ku manusa. Leuweung gerotan, leuweung angker, leuweung sanget, katelahna gé. Omat tong diganggu, tong digunasika, malah tong kumawani ngulampreng! Bahaya! Loba jurig nyiliwuri, loba sétan marakayangan, loba genderewo nu néwo-néwo, loba kélong nu lalohong! Bisi katambias di tengah alas, terus dirawu kélong, antukna balik ngaran." Iiiyyy, matak kukurayeun, matak ginggiapeun, matak maruringkak bulu punduk. Pangaruhna ka barudak, keuna ku babasan; "Inggis ku bisi, rémpan ku béja. Gimir ku pamali." Nya, tara aya nu kumawani ngulampreng ka leuweung geledegan.

Tah, bihari mah kecap pamali jeung bisi téh matih pisan. Nu matak kayaan leuweung téh éstu walagri tur lastari. Nalika akang nincak sawawa, kakara kaharti yén pamali jeung bisi téh pangwawadi tradisi nu malibir, teu togmol. Bisa kasurti téh sanggeus dipikiran tur dilenyepan. Jéntréna mah kieu meureun. Heueuh, pan kahayang manusa mah renung alahbatan jukut, rapang alahbatan béntang. Meunang sajeungkal, hayang sadeupa. Meunang sadeupa, hayang sahasta. Teu weléh hayang jeung haaayang wé! Larapna? Heueuh, mun pirajeunan ngulampreng ka leuweung ganggong sima gonggong. Nyaho hartina leuweung ganggong sima gonggong? Heueuh, leuweung geledegan nu rembet ku tatangkalan. Mun urang ngomong téh ngagoronggong geuning, aya aweuhan sora, sada aya nu némbalan. "Bergaung - bergema" ceuk barudak ayeuna mah. Contona: "Sekarang banyak didirikan gedung yang berbalkon kon kon kon kon kon .... dan banyak dibangun jalan tol tol tol tol tol tol ...." Taaah, mun dihijikeun mah gema éta nu sok mawa mamala téh! Tong dianteur waé kayahangna téh atuh! Heu, ulah dimana waé ngaseukna! Bisi keuna ku panyakit AIDS, Iiiy bararaid! Héhéhéhé...

mun jaman kiwari, kecap pamali jeung bisi téh cambal alias teu matih. Sabab nu ngomongna teu matuh, nu diomongan kalah motah. Buktina? Heu, tempo kaayaan leuweung jaman ayeuna! Baheulana wewengkon leuweung ganggong sima gonggong nu rembet kakayon, gunung subur tutuwuhan, pasir sugih pepelakan, tegal beunghar jujukutan - jadi lahan pangangonan téh ayeuna jadi muguran. Gunung gundul, pasir bulistir, tegalan taya jukutan. Akibat talajak insan nu barangasan, sarakah taya ras-rasan. Cagar alam ngarangrangan, sabab tatangkalan terus-terusan dituaran bari teu diayuman. Ceuk basa populér mah istilahna téh Ilegaloging. Sasatoan laleungitan, diranjah sato enyaan. Heueuh, sato enyaan téh manusa nu néangan kauntungan keur kaperluan sorangan, malah pikeun nyubadanan kaperluan rombongan, da kaciri abring-abringan bari meungpeukan beungeut ku saweuy. Najan tangtu aya nu nangénan malah aya nu ngélingan, tapi neugtreug mawa karep sorangan, bari susulumputan, disangkana meureun moal katohyan. Nalika katohyan, gancang ngatur siasat sangkan aman.

Carana? Heueuh, cukup haharewosan bari ngeupeulan ka nu nangénan. Tégaan pisan! Sabab, éta kalakuan téh éstu tanpa tinimbangan, teu asak jeujeuhan, teu ngaragangan kana mamala nu bakal tumiba kana kahirupan tur kahuripan papada insan. Malah ayeuna karandapan ku sasatoan tur balaréa nu aya di sabudeureun éta patempatan. Buktina: Maung jeung lutung - suwung; Badak, landak, bayawak, merak, jalak, koréak, jeung lalawak - béak; Bagong, kalong, bayongbong, jeung papatong - parongpong; Gajah, jarapah, jeung lancah - musnah; Kijang, peucang, biruang, kapodang, heulang, éngang, soang, gaang, hurang, kungkang, éngkang-éngkang - ilang; Careuh, keuyeup jeung beunteur - euweuh; Beurit jeung piit - leungit; Manukhaur, babakhaur, jeung undur-undur - lapur; Monyét, légé, ténggék, pepengéng, tongérét, jeung génggéhék – réhé - simpé; Oray, lalay, leunyay, paray - teu reuay; Macan, orang-utan, jeung nyiruan - laleungitan; Anjing, kalajengking, papanting, lembing, jeung cacing - jempling; Jeung sasatoan lianna, teuing kamarana jigna.

Akibat tatangkalan dituaran, sasatoan dialaan, ekosistem ilang kasaimbangan. Lingkungan kahirupan nyorang parobahan nu mawa katunggaraan. Lapisan hawa paniisan (lapisan ozon) ngipisan. Mangsa katiga entak-entakkan, hawa nyongkab panas pisan. Cinyusu - nyaatan; Walungan - ngorotan; Solokan - ngolétrak pisan; Pasawahan - kagaringan, teuas nepi ka telaan. Wanci usum ngijih, datang bahayaérosi. Turun hujan silantangan. Gunung luhur - marendékkan; Pasir gajegir - ngabékéan; Walungan gugulidagan; Cileuncang umpal-umpalan; Caah déngdéng warna konéng, neunggar bénténg - ngararad lonéng. Wewengkon dayeuh kakeueum; Padésaan kabanjiran; Basisir beuki kasisisir (abrasi); Jaladri - ngageuri, sagara - tunggara, laut anu katempuhan, teu kaduga nadah caah nu ngabudah mawa runtah tur mawa wabah. Antukna: Lautan - marudah, sagara - amarah, jaladri gonjang-ganjing, nya datangtsunami nu teu kajudi. Balukarna; Insan nu tara opénan, dulur nu tara loba catur, somah nu tara ngarinah, ukur sadrah jeung sumerah. Patani kaseuit ati, kaom buruh ukur rumahuh, pagawé nagri bati ngageuri, pamayang ngabarungsinang. Rahayat tibuburanjat, tihothat, walurat, malarat, masakat, sakarat, sasambat ka Hyang Murbengrat, panyambat parat ka jagat muprat, ngupat para aparat nu hianat, ngadamprat ka para ningrat nu jarahat: "Kawalat! Kawalat! Kala'nat! Kala'nat! Pegat kawat ni'mat! Sapat tambang rohmat! Paragat tina hidayat! Ragrag harkat, darajat, sarta martabat! Kiamat! Kiamat! Kiamat!" Kitu meureun, panyambat tur pangupat rahayat nu ngajerit maratan langit, ngocéak maratan jagat. Malah aya oge nu ngagogog bari mantog, geus lain unjuk rasa deui, tapi unjuk raga, bari susumbar paheuras-heuras genggerong, malah aya ogé nu bari ngaruksak wawangunan.

Ah, nya éta atuh... romantika kahirupan di dunya téh beuki deui beuki sahéng, beuki harénghéng. Bancang pakéwuh pating jelegur, musibah, wabah - tambah sumarambah. Di antarana, alatan manusa teu ngamumulé lingkungan pileuweungan

ISTILAH WANGUNAN IMAH

Dihandap ieu aya sababaraha bagéan atawa rohangan dina hiji wangunan atawa gedong, rék wangunan anu sapopoé ku urang dipaké ngiuhan, karaton jeung sajabana, diantarana  :

A. Ngaran Rohangan Di Imah/Wangunan
  • Buruan, tanah hareupeun imah. 
  • Dapur, tempat mirun seuneu, masak, nyangu jsb.
  • Garasi, tempat (kandang) mobil. 
  • Goah, pangkéng (kamar) pabéasan jeung tempat neundeun kadaharan nu séjénna, biasana di jero imah bagian tukang. 
  • Jamban, pamandian, tempat mandi. 
  • Madé, rohangan lega di tengah karaton paranti nu ngadareuheusan. 
  • Mihrab, rohangan leutik di masigit, paranti imam jeung mimbar. 
  • Pakarangan, tanah sakurilingeun imah. 
  • Pamengkang, bagian karaton atawa kabupatén (baheula) tempat nampa nu ngadeuheusan atawa masamoan. 
  • Pancaniti, tempat ngabadamikeun urusan pamaréntahan di karaton atawa kabupatén (baheula).
  • Pangkéng, kamar, rohangan imah paranti saré atawa barangteundeun. 
  • Panyepén, tempat nyepi. 
  • Patengahan, rohangan imah nu di tengah. 
  • Pipir, tanah tukangeun atawa gigireun imah. 
  • Sepén, kamar leutik tempat neundeun bahan dahareun. 
  • Sitinggil, babancong, wawangunan nu lanténa rada luhur di alun-alun (baheula), paranti raja (bupati jsb), ningali karaméan sok aya ogé nu nyebut istinggil. 
  • Srimanganti, gedong atawa tempat abdi-abdi nu rék ngadeuheus ka raja (baheula). 
  • Tepas, émpér, bagian imah panghareupna atawa pangtukangna, anu biasana heunteu ditutup kabéh ku bilik, atawa maké kaca.

B. Babagian Imah/Adegan
  • Abig (ampig), bilik juru tilu dina pongpok leuit atawa pongpok imah. 
  • Adeg-adeg, pananggeuy nok dina suhunan. 
  • Ambén, tepas imah panggung nu lanténa tina palupuh.
  • Babancik, golodog, papanggé. 
  • Balandar, sarupa balok nu wangunna pasagi opat dipasang di luhur kuda-kuda pikeun nahan usuk dina rangka hateup.
  • Bangbarung, kai atawa awi antara tihang panto di handap. 
  • Cempéd, lakop, papan heureut atawa awi sabébék anu dipaké nutupan sarta mageuhan sisi-sisi atawa sambungan bilik. 
  • Dalurung (darurung), awi guluntungan atawa kai antara pananggeuy jeungpalupuh dina imah panggung.
  • Damit, iga-iga leuit, palang dada luareun bilik. 
  • Deudeul, tihang pondok panahan dalurung (di kolong imah panggung).
  • Érang-érang, awi atawa kai nu aya di antara dua tihang panto atawa jandéla belah luhur.
  • Eréng, awi bébékan atawa kai paranjang nu dipaku kana usuk pikeun ngaitkeun ceuli kenténg, numpangkeun séng jsb. nu dipaké tutup suhunan (hateup).
  • Gagalur, kai atawa beusi panahan tataban. 
  • Galar, palang dada, kai malang antara dua tihang wates sadada (harigu) luhurna, sok dipaké barangteundeun.
  • Golodog, tangga paranti unggah-unggah di imah panggung. 
  • Hateup, tutup imah di luhurna, supaya iuh, ulah kapanasan, asup cihujan, jsb. 
  • Heuay badak, liang haseup, bangunan pasagi dina suhunan dapur, maké hateup deui sina calangap.
  • Iga-iga, pamageuh bilik jeung bilik deui, awi golondongan, jaman bilik rangkep dianggangkeun.
  • Jandéla, lawang cahaya jeung hawa dina bilik atawa dingding témbok nu biasana bisa dibuka jeung ditutup cara panto, aya ogé nu make sarigsig. 
  • Jungjang, kai atawa awi anu dipalingpangkeun antara dua tihang supaya ulah réyod, pamageuh saung atawa raraga imah nu rék di adegkeun. 
  • Juré, kai suhunan antara pucukna jeung juru imah nu opat.
  • Kolong, rohangan dihandapeun imah panggung. 
  • Kuda-kuda, balok kai nu dipasang déngdék anu nyambungkeun tihang adeg jeung pamikul. 
  • Kusén, kai rangkay panto atawa jandela. 
  • Lincar, cempéd (papan) rubak pikeun nutup bilik ti belah luar, lebah darurung, atawa pikeun nutup tungtung darurung nu di hareup (dina imah panggung). 
  • Mundu, golodog panto. 
  • Palang dada, galar. 
  • Palipid, palisir, papan nu dipaké nutup tungtung usuk supaya ulah katénjo rogokna.
  • Palisir, palipid.
  • Palupuh, lanté imah panggung nu di cacag ka panjangna tuluy dibébérkeun sarta diamparkeun dina dalurung. 
  • Pamikul, panahan suhunan ka panjangna imah. 
  • Pangérét (panghérét), pamikul rubakna atawa heureutna imah. 
  • Panto, panutup lawang imah nu bisa dibuka jeung dipeundeutkeun (ditutup). 
  • Papanggé, golodog atawa babancik.
  • Para, bagian imah antara suhunan jeung lalangit.
  • Pondasi, dasar atawa tatapakan adegan témbok (gedong), pasangan batu jeung adukan dina rorakan anu jerona nepi kana lapisan taneuh nu teuas.
  • Pongpok, rohangan di sisi (handapeun suhunan) anu sok ditutup ku abig (ampig). 
  • Ranki, sabagian tina suhunan imah baheula anu dijieun tina sasag paranti hateup balubur.
  • Sarang, awi beunang meulahan saperti eréng nu dipasang dina dalurung handapeun palupuh.
  • Sarigsig, ruji, sarup, pager sap, dina jandéla, liang hawa jsté. tina kai atawa beusi supaya ulah beunang diponcoran.
  • Siku-siku (sisiku), kai atawa awi sateukteuk pikeun ngawewegan raraga imah jsb.
  • Sorondoy, hateup panambah gigireun atawa tukangeun adegan nu geus aya.
  • Sosompang, wawangunan panambah mangrupa kamar, biasana keur saheulaanan.
  • Suhunan, bagian imah nu pangluhurna, ngujur manjang nurutkeun wangun imah.
  • Tataban, papan kandel nu dipaké lanté imah panggung jsté.
  • Tatapakan, batu atawa témbok tempat napakna tihang imah.
  • Teer, kai atawa awi guluntungan nu nyambungkeun antara dua tatapakan.
  • Tihang, kai atawa awi panjang nu ditangtungkeun pikeun nahan pamikul imah jsté.
  • Usuk, kaso-kaso.
  • Wuwung, tutup hateup sapanjang sambungan suhunan, tempat patepungna dina puncak suhunan (témbok atawa séng).